Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teologi Kecemasan: Jalan Merengkuh Keutuhan?

26 April 2024   06:31 Diperbarui: 26 April 2024   06:54 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hans Urs von Balthasar, seorang teolog Swiss, menyebut kecemasan didesain oleh Allah sebagai alarm yang mengingatkan kita pada realitas. Alih-alih berkubang pada mimpi-mimpi kosong bahwa segala sesuatu tunduk di bawah kuasa pikiran.

Pasca kejatuhan manusia pertama, kecemasan turut mengalami pergeseran makna. Dosa merusak berbagai relasi manusia (dengan Allah, sesama, diri sendiri). Juga berdampak pada cara manusia memandang keterbatasannya. Keterbatasan yang seharusnya mendorong manusia tertuju pada Allah, malah membuat manusia lari dan bersembunyi dari Allah, Sang Obyektif.

Jawaban manusia pada Kejadian 3:10 kepada Allah menggambarkannya dengan baik. "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."

Balthasar menggambarkan naluri pendosa untuk menyembunyikan rasa bersalah di balik tirai keterlupaan. Manusia tidak hanya ingin melupakan tetapi juga ingin dilupakan oleh Allah. Karena dosa, Allah menjadi sumber sekaligus obyek kecemasan itu sendiri.

Dalam Summa Theologia, Thomas Aquinas menyebut kecemasan sebagai gairah jiwa (passion of the soul). Gairah tidak dipandang optimistik seperti obrolan kafe anak-anak Jaksel. Namun semacam dorongan menggebu yang tak dapat dihindari. Menghadapi kecemasan, seseorang cenderung berputar-putar pada diri sendiri. Ia "menggelapkan" diri dalam ketakutan lalu mencipta imaji-imaji kosong.

Jacques Lacan, seorang psikoanalis Prancis, menyebut imaji-imaji kosong sebagai fantasi fundamental. Fantasi fundamental adalah impian ganjil seseorang bahwa ia akan mendapat kepuasan melalui obyek hasrat, yang juga ganjil.  

Aquinas menjelaskan kecemasan didasari oleh kejahatan yang tak dapat dihindari dan tak terduga (unforeseen irresistible evil). Dalam konteks hari ini barangkali dapat ditafsir sebagai perasaan tidak aman (insecurity).

Aspek paling menakutkan dari kecemasan bukan kecemasan itu sendiri. Rasa cemas bahkan "menghasut" kita untuk punya kendali atas segala hal. Bukankah itu menggambarkan kecemasan umum generasi milenial hari-hari ini? Kecemasan finansial, masa depan, pasangan hidup, berkeluarga, dan sebagainya. Kita ingin semua berjalan seperti yang kita mau. Meleset, rasa tidak aman menanti di ambang pintu.

Solusi umum kecemasan (baca: laku dijual) adalah berbahagia. Jargon-jargon "jangan lupa bahagia", "bahagia itu sederhana", jamak kita dengar. Kita diminta untuk menerima segala ketidakamanan hidup, mengalihkannya pada kesenangan-kesenangan kecil.

Tidak salah dengan me time, tentu saja. Tetapi kebahagiaan bukan lawan dari kecemasan, melainkan sebuah prakondisi. Kecemasan tak jarang hadir kala situasi sedang stabil, tidak ada tekanan, semua baik-baik saja.

Maka, lagi-lagi, apakah kita benar-benar tahu apa yang kita mau? Bagaimana kita yakin apa yang kita hasrati adalah keinginan kita sendiri? Jangan-jangan kita menghasrati sesuatu yang didiktekan secara tak sadar oleh lingkungan dan "kewajaran masyarakat" sekitar kita. Dalam keberdosaan, kita dikutuk untuk tidak benar-benar tahu apa yang kita mau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun