Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Presiden Jokowi Tanpa Beban Politik, Kenapa Banyak Intrik?

21 Oktober 2020   20:25 Diperbarui: 22 Oktober 2020   17:52 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Presiden Joko Widodo atau yang lebih populer dengan nama Jokowi, begitu terpilih kembali menjadi orang nomor 1 di negara kita tercinta ini, bertekad untuk melakukan tugasnya semaksimal mungkin, memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa. Beliau sudah tidak punya beban politik lagi, karena pada pilpres 2024 tak bisa mencalonkan diri.

Jadi, tarik menarik berbagai kepentingan, baik demi keuntungan partai tertentu atau kelompok usaha tertentu, seharusnya tidak mempengaruhi Jokowi dalam pengambilan keputusan. Satu-satunya yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan rakyat banyak.

Maka, begitu dilantik memangku jabatan yang kedua kalinya, 20 Oktober 2019 lalu, publik menduga Jokowi akan ngebut, tancap gas dalam mengeksekusi berbagai program yang telah dicanangkan, termasuk yang dipaparkan sewaktu kampanye pilpres.

Bahwa yang digandeng sebagai wapres adalah seorang sosok yang sama sekali jauh dari perkiraan para pengamat politik, justru semakin menegaskan bahwa Jokowi memang ingin ngebut dalam bekerja. 

KH Ma'ruf Amin diyakini akan setuju sepenuhnya dengan langkah yang diambil Jokowi, berbeda dengan wapres sebelumnya Jusuf Kalla yang terkadang punya gagasan sendiri.

Selain itu, dengan adanya seorang ulama di sisi Jokowi, setidaknya memperlunak kubu "hijau" yang mengatasnamakan berbagai organisasi Islam dalam menyerang kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, pada periode pertama Jokowi, cukup sering muncul gangguan dari kelompok yang menamakan dirinya Persaudaraan Alumni 212 (PA 212).

Jokowi semakin di atas angin karena mayoritas anggota parlemen berdiri di barisan partai pengusung Jokowi-Ma'ruf. Apalagi setelah Partai Gerindra meneyeberang masuk kubu pemerintah. Memang seperti kontradiktif, ketika Jokowi tidak punya beban politik, justru beliau menggandeng rival abadinya, Prabowo Subianto.

Boleh dikatakan, apapun kebijakan Jokowi yang memerlukan persetujuan DPR, akan berjalan mulus. Parktis hanya PKS sebagai partai yang tegas menyatakan diri sebagai oposisi. Belakangan, Demokrat yang awalnya kurang jelas posisinya, mau mendukung Jokowi tapi tak dapat jatah di kabinet, sekarang sepertinya mulai kokoh berdiri di pihak oposisi.

Adapun Partai Amanat Nasional (PAN) merapat ke pihak pemerintah setelah Zulkifli Hasan kembali memimpin dan sekaligus "menendang" Amien Rais. Jika ada reshuffle kabinet, kemungkinan besar wakil PAN ada yang masuk.

Jelaslah, begitu nyata bahwa Jokowi memang tak ada beban politik. Para politisi telah dijinakkan, makanya tidak ada penghalang bagi Jokowi untuk melaju kencang, untuk mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat ke posisi yang lebih tinggi.

Tapi, tak dinyana dan tak diduga, datanglah bencana pandemi yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi bangsa. Indonesia akhirnya mau tak mau harus mengahadap resesi, dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal terakhir secara beturut-turut.

Fokus pemerintah yang tak hanya ingin fokus menangani soal kesehatan, tapi juga sekaligus menggerakkan perekonomian, bahkan juga menggelar pilkada serentak, telah menimbulkan rasa pesimis pada sebagian pihak. 

Ada kekhawatiran bahwa pandemi akan semakin sulit dibendung, justru karena pembatasan sosial yang diperlonggar untuk menggerakkan ekonomi. Padahal masyarakat belum sepenuhnya mematuhi protokol kesehatan.

Riak-riak politik mulai muncul dari kelompok Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dengan tokoh sentral mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. 

Perlawanan terhadap pemerintah menemukan momentumnya ketika DPR menyetujui RUU Cipta Kerja yang ditengarai akan menurunkan kesejahteraan para pekerja. Tak pelak lagi, aksi unjuk rasa merebak di berbagai penjuru. Tidak hanya para pekerja, mahasiswa dan pelajar juga ramai-ramai turun ke jalan.

UU Cipta Kerja sepertinya merupakan jawaban dari keinginan Jokowi untuk ngebut dalam mendatangkan investor agar lapangan pekerjaan terbuka lebih banyak. 

Tidak saja untuk menampung angkatan kerja yang belum kebagian pekerjaan, tapi juga menampung mereka yang terkena PHK akibat kebangkrutan sejumlah perusahaan sebagai dampak pandemi.

Tampaknya UU Cipta Kerja bisa ditafsirkan sebagai buah dari kepemimpinan tanpa beban politik. Artinya, Jokowi berani melakukan tindakan yang tidak populer, namun untuk jangka panjang diyakini akan terasa manfaatnya bagi masyarakat banyak.

Di lain pihak, menurut versi mereka yang menolak UU Cipta Kerja, ketentuan baru dinilai terlalu berpihak pada pengusaha. Makanya, sejumlah asosiasi pengusaha bersama sejumlah politisi yang juga banyak berlatar belakang pengusaha, diduga melakukan intrik-intrik tertentu, sehingga pembahasan RUU dimaksud dituntaskan lebih cepat.  

Padahal, biasanya dalam membahas sebuah RUU, selalu dibutuhkan waktu yang relatif lama. Sebagai contoh RUU tentang pencegahan kekerasan seksual yang sudah dinantikan masyarakat, telah sekian lama masih belum juga kelar.

Adapun menurut versi pemerintah dan wakil rakyat, para pekerja dan masyarakat luas juga diuntungkan dengan adanya UU Cipta Kerja, karena akan terciptanya lapangan kerja baru, seiring masuknya investor dari negara asing. 

Perizinan investasi akan menjadi  lebih mudah, meskipun banyak kewenangan daerah yang kembali ditarik ke pusat. Maksudnya, dalam beberapa hal kita kembali lagi ke era sentralisasi seperti Orde Baru dulu.

Nah, jika memang kepentingan rakyat banyak menjadi "jiwa" dari UU Cipta Kerja, maka tampaknya ada yang belum pas dengan sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah ke berbagai elemen masyarakat, sehingga gelombang penolakan demikian besar.

Begitulah, setahun sudah Jokowi-Ma'ruf menakhodai bangsa, ternyata memimpin tanpa beban politik, bukan hal yang mudah. Hal ini diperkuat oleh hasil jajak pendapat Litbang Kompas (Kompas, 21/10/2020), yang menunjukkan ketidakpuasan responden terhadap pemerintah berada pada angka yang tinggi, yakni 52,5 persen. Sedangkan yang puas hanya 45,2 persen.

Masih ada empat tahun lagi waktu bagi Jokowi-Ma'ruf untuk membuktikan janji-janji kampanyenya. Metode blusukan yang pernah melambungkan nama Jokowi sewaktu menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, agaknya perlu diterapkan lagi, meskipun Indonesia demikian luas, agar yang menjadi aspirasi rakyat betul-betul diperhatikan pemerintah.

Aspirasi pengusaha atau aspirasi politisi tentu tak ada salahnya ditampung. Namun, di atas semua itu, aspirasi rakyatlah yang menjadi pertimbangan utama. Ingat, wakil rakyat belum tentu menampung aspirasi rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun