Mereka sangat berdisiplin dalam bekerja dan juga pekerja keras, bahkan hak cuti merekapun jarang digunakan karena dianggap kemalasan dan akan dinilai jelek oleh atasan mereka, bahkan jika salah satu karyawan cuti akan mendapatkan gunjingan dan menjadi sindiran bagi rekan-rekan kerja mereka. Sebab itu banyak karyawan enggan cuti.
Berdasarkan data yang dirilis pemerintah Jepang, para pekerja hanya mengambil 52,4% cuti tahunan yang menjadi hak mereka pada 2018.
Alasan utamanya adalah rasa bersalah sebagai hasil dari tekanan dan ekspektasi pada masyarakat yang 'gila kerja'. Setiap tahun, seorang pekerja rata-rata punya puluhan hari cuti yang menumpuk.
Budaya kerja berjam-jam dan melampaui jam kerja di Jepang telah meningkatkan angka karoshi dan angka bunuh diri karena stress dari tempat bekerja.
Pada tahun 2015, Departemen Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan Jepang mengungkapkan jumlah kematian yang diakibatkan Karoshi di Jepang mencapai 1456 kasus dalam kurun 1 tahun. Hasil investigasi Pemerintah Jepang pada tahun 2016 menyatakan jika 12 persen staf di Perusahaan Jepang bekerja lebih dari 100 jam per bulan.
Melihat etos kerja Jepang tersebut membuat pemerintah Jepang berusaha memperbaikinya dengan istilah hataraki-kata kaikaku. UU tersebut mengamandemen delapan undang-undang pokok tenaga kerja, mulai dari pembatasan jam kerja, fleksibilitas bekerja, hingga kewajiban bagi karyawan untuk mengalokasikan lima hari libur dan pembatasan sisa jumlah cuti sebanyak 10 hari.
Bekerja itu untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja karena ada hal-hal lain yang berharga dalam hidup.
Sumber: bbc.com
Wikipedia