Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Wayang Mbeling: Rajasa Muda vs Joyokotwing

24 Juli 2014   14:07 Diperbarui: 13 September 2015   19:11 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pada zaman dahulu tersebutlah seorang pemuda bangsawan ahli politik dan strategi perang bernama Raden Wijaya. Begitulah penggalan cerita sejarah ini berawal. Raden Wijaya adalah menantu Kertanegara Raja Singasari. Saat Singasari dikalahkan Jayakatwang Bupati Gelang-Gelang, dengan strategi politiknya Raden Wijaya berhasil mendapat suaka dari Jayakatwang dan justru mendapatkan HPH atas hutan Tarik. Di Hutan Tarik itulah Raden Wijaya membangun pemukiman dan basis militer bersama para pengikutnya.

Meski mendapat suaka, dalam hati Wijaya tetap tersimpan asa untuk membalas dendam pada Jayakatwang. Sayangnya, balatentara Jayakatwang jauh lebih kuat daripada tentara Raden Wijaya. Maka asa itu tetaplah sekadar asa. Menyerang musuh yang jauh lebih kuat tanpa strategi jitu merupakan tindakan bodoh. Raden Wijaya tahu benar hal itu. Ia tetap sabar menunggu waktu yang tepat. Tentu saja sambil berusaha dan berdoa pada Tuhannya.

Akhirnya kesempatan itu pun tiba. Hal ini dari kedatangan kapal-kapal balatentara Tartar (Mongol) yang hendak menuntut balas pada Kertanegara. Sekian waktu sebelumnya, Kertanegara telah melukai utusan Tartar. Hal itu dianggap sebagai penghinaan dan tantangan berperang. Lucunya, balatentara Tartar itu sama sekali tidak tahu kalau Kertanegara telah tewas dan kerajaannya dikuasai Jayakatwang.

Raden Wijaya yang melihat peluang menghancurkan Jayakatwang segera mengirim utusan pada panglima tartar dan menawarkan kerjasama. Gayung pun bersambut. Tentara Jayakatwang tak mampu menahan gempuran tentara Tartar sehingga akhirnya hancur takluk. Maka mulailah Raden Wijaya memainkan strategi intinya. Dengan taktik 'menohok kawan seiring', Raden Wijaya mulai menghabisi balatentara Tartar yang buta medan pertempuran Jawadwipa. Akhirnya sisa-sisa pasukan Tartar berlarian ke kapal dan kembali ke negerinya.

Sebenarnya, mundurnya tentara Tartar itu bukan murni karena kalah oleh pasukan Raden Wijaya. Panglima Tartar akhirnya tahu jika Kertanegara telah tewas sehingga tak ada artinya lagi tinggal di tanah Jawa. Lagipula, mereka harus buru-buru berlayar pulang karena jatah angin muson saat itu akan segera habis. Kalau tak segera berlayar pulang, mereka harus menunggu enam bulan lamanya, artinya, mereka akan terjebak di pulau Jawa.

Apapun itu, Raden Wijaya dan tentaranya merasa menang. Secara de facto, musuh berhasil diusir. Raden Wijaya terus membangun hutan Tarik dan akhirnya mendirikan kerajaan baru yang diberi nama Majapahit. Raden Wijaya menjadi raja pertama dan bergelar Sri Kerta RAJASA Jayawardhana.

Sekian abad berselang, seorang panglima pasukan yang gagah bernama Prabukusumo membaca cerita tentang Raden Wijaya itu dan segera menjadi pengagumnya. Hasrat tuk jadi raja pun mencuat. Ia pun keturunan bangsawan yang cakap dalam hal strategi perang dan politik. Kebetulan pula ia juga menantu seorang raja besar bernama Prabusuto di kerajaan Ailenbitwin. Kebetulan yang nyaris sempurna. Hanya saja, Prabukusumo butuh pihak lain untuk menyerang dan menaklukkan kerajaan mertuanya dan nantinya ia akan menyerah lalu meminta suaka pada penakluk mertuanya itu. Dengan demikian, ia mengharap sejarah berulang sama persis seperti cerita yang dibacanya.

Harapan Prabukusumo seakan terkabul dengan terjadinya kerusuhan besar di kerajaan mertuanya. Kekuasaan sang mertua berhasil dikudeta. Sayangnya, pelaku kudeta adalah rakyatnya sendiri dan sang mertua bukan ditaklukkan dengan perang, melainkan meletakkan jabatan dan dengan legowo turun tahta. Sampai di sini Prabukusumo mulai menyadari adanya potensi penyimpangan skenario keberhasilannya untuk menjadi raja. Sebagai panglima pasukan istimewa, sebenarnya bisa saja ia mengambil alih kekuasaan atas nama keselamatan negara, tetapi sang mertua melarangnya. Bahkan, sang mertua justru menyerahkan tampuk kekuasaan kerajaan pada patihnya yang seorang teknokrat. Apesnya lagi, sang mertua yang menyadari ambisi liar sang menantu justru mewanti-wanti jajaran petinggi militernya untuk 'mewaspadai' menantunya itu. Alhasil, setelah sang mertua turun tahta, karier militer Prabukusumo pun terhempas kandas di tangan para atasannya melalui sebuah rekayasa sistematis.

Prabukusumo pun sedih setengah frustrasi. Pergilah ia melanglang buana, berusaha melupakan kepahitan hidup yang menimpanya. Namun, hasratnya untuk jadi raja tak pernah padam. Bayangan teladan Raden Wijaya terus mewarnai segala pemikirannya. Saat melanglah buana itu ia kumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Sekian tahun kemudian ia pun kembali ke negerinya. Dibelinya hutan, lalu dibangunnya pemukiman pribadinya. Ia berusaha mengkondisikan jalan hidupnya ke jalur timeline Raden Wijaya saat membuka hutan Tarik dan mendirikan pemukiman. Dengan demikian, ia merasa telah kembali ke jalur "calon raja". Untuk lebih meneladani jalan hidup Raden Wijaya dan atas saran seorang penasihat yang memiliki daya linuwih, dibelilah kuda-kuda perkasa untuk menyemarakkan hutan luas miliknya.

Prabukusumo sangat mencintai kuda-kudanya. Saat naik kudanya yang perkasa itu ia merasa seakan menjadi Raden Wijaya dan makin meyakini bahwa menjadi raja adalah salah satu takdirnya. Dengan penuh perhitungan disusunnya strategi. Dibangunnya basis-basis pengikutnya yang setia. Dikembangkannya gaya kepemimpinan yang menggabungkan antara feodalisme dan militer. Feodalisme yang menyebabkan seorang pengikut memujanya bak dewa dan setia menghamba meski tanpa imbalan. Feodalisme itu bukan salahnya. Itu memang karakter sebagian pengikutnya yang begitu fanatik mempercayainya. Kalau militer, itu memang gayanya di mana ia merasa menjadi pemimpin tertinggi.

Dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun, pengikut Prabukusumo semakin banyak. Citra positif yang dibangunnya dengan sabar dan tekun mulai menuai hasil. Membanjirnya dukungan pada dirinya berhasil mengantarnya menuju ajang kontes calon raja di negerinya. Sayangnya, ajang kontes itu mensyaratkan adanya calon patih. Prabukusumo yang sebenarnya merasa tak butuh patih itu pun terpaksa berburu calon patih.

Lucunya, tak satupun tokoh yang dirasa cocok sebagai calon patih bagi Prabukusumo. Di samping merasa tak butuh, Prabukusumo juga tak terbiasa dibantah siapapun. Keberadaan patih hanya akan merepotkan pengambilan keputusan, mungkin demikian pikirnya. Namun, syarat adanya calon patih bersifat mutlak. Mau tak mau, Prabukusumo harus menentukan pilihan. Saat anak buahnya menyodorkan nama-nama tokoh, Prabukusumo tersentak membaca sederet nama yang tak asing baginya, nama yang mengingatkannya pada gelar Raden Wijaya idolanya dari masa lalu, yaitu: RAJASA! Dengan gemetar penuh perasaan, dia katakan pada anak buahnya bahwa tokoh itulah yang dipilihnya.

"Menohok kawan seiring... menohok kawan seiring".. kata-kata itu selalu terngiang di benak Prabukusumo. Itu strategi spesialis Raden Wijaya alias Sri Rajasa. Prabukusumo yakin bahwa ia memang membutuhkan strategi itu. Selama ini ia membangun basis pengikut tanpa pilih-pilih. Semua yang datang menawarkan diri langsung diterimanya. Prabukusumo tahu bahwa sebagian kecil sekutunya itu bukan golongan baik-baik, tapi penting perannya dalam mennggapai tahta. Golongan yang bukan golongan baik-baik itulah nantinya yang akan dihadiahinya taktik 'menohok kawan seiring' ala Raden Wijaya setelah tahta berhasil digapainya. Taktik itu sudah dihapalnya. Jadi, calon patih yang namanya kebetulan mengingatkannya pada gelar Raden Wijaya itu hanya diabutuhkan untuk mengingatkannya pada strategi-strategi brilian pasca runtuhnya Kerajaan Singasari.

Hingga batas itu, Prabukusumo makin mantap dan yakin bahwa ia memang berada di jalur tahta. Apalagi setelah ia tanpa sengaja berpikir bahwa jabatan Jayakatwang yang Bupati di zaman dulu itu dapat dianalogikan dengan jabatan Walikota di masa kini, jabatan yang pernah disandang rivalnya dalam ajang kontes calon raja sebelum mengalahkan seorang gubernur bernama Bukusumo dan menggantikannya. Prabukusumo menganggap gubernur yang kalah itu sebagai seniornya berdasarkan nama. Gubernur itu bernama Bukusumo, sementara namanya sendiri masih diawali Pra. Kalau di masa lalu, bisa saja gubernur itu dianalogikan sebagai mertua Raden Wijaya di Singasari.

Dengan berbagai kebetulan yang aneh itu, Prabukusumo makin yakin akan takdirnya sebagai raja. Secara spiritual pun ia meyakini bahwa wahyu keprabon ada pada dirinya. Rivalnya yang secara kebetulan yang aneh dianalogikannya sebagai Jayakatwang itu nantinya pasti akan dikalahkannya. Yang diperlukan sekarang hanya sekumpulan wadyabala bermata sipit sebagai representasi prajurit Tartar di masa lalu. Prabukusumo benar-benar detail menyusun skenarionya. Semua kejadian harus mengacu pada sejarah Raden Wijaya alias Sri Rajasa di awal berdirinya Majapahit.

Semula semua taktik berjalan mulus. Dari taktik propaganda negatif untuk mengajak rakyat memusuhi rivalnya hingga membelokkan arus dendam berlaksa insan pada rivalnya seorang. Dengan strategi itu Prabukusumo berharap rivalnya akan banyak kehilangan energi dan dukungan sebelum benar-benar berhadapan dengannya di ajang kontes calon raja. Memang, yang dipakainya itu strategi perang.

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, sekali-sekali gagal juga. Begitulah dengan strategi Prabukusumo. Susunan skenario yang secara teknis dan magis diarahkannya semirip mungkin dengan pengalaman hidup Sri Rajasa itu menyisakan celah yang tidak terpikirkan sebelumnya, dan celah itulah biang kegagalannya meraih tahta. Dengan berbagai kecocokan dengan skenario sejarah, Prabukusumo dengan mantab menganalogikan rivalnya sebagai Jayakatwang yang akan dipecundanginya dengan bantuan para sekutunya. Prabukusumo lupa bahwa masalah nama itu penting artinya dalam perhitungan taktik. Prabukusumo tak sadar bahwa ia membenturkan taktik Raden Wijaya alias Sri RAJASA bukan dengan Jayakatwang, melainkan dengan JOyoKOtWIng.

Raden Wijaya memang menang melawan Jayakatwang, tapi melawan Joyokotwing?  NO WAY! Belum ada sejarahnya Joyokotwing kalah. Joyokotwing itu Jayakatwang yang sudah menjadi super saiyan. Kalau menurut versi sejarah Majapahit, yang nyata justru Sri RAJASA. Prabukusumonya tak ada. Makanya bisa mendadak raib moksa kapan saja dalam cerita karena sikap kenegarawanannya. Ah, namanya saja wayang mbeling, boleh dong raja baru Ailenbitwin disebut JOyoKOtWIng.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun