Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mengapa Orang Asing Suka Mandi Matahari?

22 Maret 2020   16:36 Diperbarui: 25 Maret 2020   11:22 3966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mau naik boot keliling danau? | Dokumentasi Gana

Waktu itu masih Februari, notabene musim dingin. Mana? Mana si matahari? Suhu rendah membuat orang malas bangun, keluar apalagi beraktivitas. 

Angin begitu leluasa menusuk tulang, taburan salju bak tepung putih di mana-mana dan orang menutup tubuhnya rapat-rapat. Mana berani orang membuka aurat? Bisa-bisa masuk angin.

Namun siapa sangka bahwa perjalanan kami dari Jerman menuju Ascona, Swiss memberikan jawaban dari pertanyaan yang selama ini terpendam, Mengapa orang asing suka berjemur matahari? Anda sudah tahu jawabannya?

Nemu surga dunia | Dokumentasi Gana
Nemu surga dunia | Dokumentasi Gana
***

Perjalanan kami melewati batas negara Jerman dan Swiss di Thayngen terlampaui. Petugas bea cukai enggan memberhentikan kami. Sungut mereka memang tajam, mampu mengendus mobil mana yang harus digeledah dan menemukan sesuatu yang terlarang. 

Maaf, kami memang tidak membawa barang terlarang. Kami pun berlalu, lenggang kangkung.

Tak lama kemudian, kami sudah sampai Gothard, terowongan yang mempercepat waktu sampai ke Ascona, kanton Tessin, Swiss. Beberapa jam setelahnya, kami tiba di tempat tujuan; kediaman seorang teman baik.

Promenade di sekeliling Lago Maggiore | Dokumentasi Gana
Promenade di sekeliling Lago Maggiore | Dokumentasi Gana
Keindahan Ascona Tiada Tara
Menelisik sejarah kota yang memiliki keindahan Danau Lago Maggiore itu menarik sekali. Rupanya dulu pernah jadi bagian dari Milan, Italia. 

Sampai kemudian sejak tahun 1803 menjadi kanton Tessin, negara Swiss. Dengan jumlah penduduk yang hanya 700-an, keindahan alamnya menjadi magnet bagi pendatang dan penduduk baru. 

Banyak orang Jerman yang berkunjung ke sana, bahkan sampai memutuskan untuk menetap nggak balik ke asalnya. Nggak heran kalau sekarang ini jumlah warganya menjadi lebih dari 5000 orang. 

Untuk ukuran Eropa, sudah banyak itu. Di Semarang, itu hanya sama dengan kepadatan penduduknya per km persegi saja.

Dunia milik kita berdua, honey| Dokumentasi Gana
Dunia milik kita berdua, honey| Dokumentasi Gana
Mengapa Ascona layaknya magnet? Lihatlah ikon seperti danau, gereja tua, pulau kecil di tengah danau, promenade, tempat shopping, wisata kuliner dan entah apalagi yang sudah kami jelajahi. 

Berada di sana, kami merasa menemukan surga dunia. Tempat yang relatif mahal, menguras kocek semaunya tetapi tetap saja mempesona. Gambarannya, satu bola es krim saja sama dengan 3 euro atau hampir 50 ribu rupiah.

Dari semua kesan wow di sana, jatah lintasan mataharinya luar biasa. Untuk merasakan kehangatan temperatur udara, nggak perlu terbang ke Indonesia. 

Ke Ascona saja sudah cukup. Hanya butuh 4 jam ke sana. Indonesia? Setidaknya 16 jam duduk di bangku pesawat dan pantat seakan-akan menipis pelan tapi pasti.

Enjoy di taman| Dokumentasi Gana
Enjoy di taman| Dokumentasi Gana
Berjemur di Bawah Matahari Itu Sesuatu
Eh, hangat? Di musim dingin, Ascona tetap lebih hangat dari Jerman. Pada suatu hari Minggu, kami lihat catatan temperatur udara di Ascona 17 derajat C, Tuttlingen 8 derajat C. Alamaaaaakkkk. 

Bulu kuduk saya sempat berdiri membayangkan ademnya tempat saya ngenger. Brrrrrr, tarikkk selimutttt, nih yeee.

Saya beruntung, ada di Ascona waktu itu. Berada di balkon yang menghadap matahari dan jajaran pegunungan, kepala saya mengangguk. Nggak heran jika kehangatannya membuat pohon palem menjulang tinggi, layaknya di Los Angeles. 

Sinar matahari datang menjemput| Dokumentasi Gana
Sinar matahari datang menjemput| Dokumentasi Gana
Sinar sang surya mampu memijat sekujur tubuh supaya kembali fit saat didera flu. "Uhuk-uhuk", waktu itu saya sudah batuk kering, dada sakit dan kepala seperti dibebani batu kali, meski virus corona belum heboh seperti sekarang ini.

"Ah, saya memang kurang matahari," bisik saya, lalu memejamkan mata dan berbaring di atas matras kuning yang saya gelar di lantai balkon. Kursi malas bisa saja cemburu melihat saya nggak niat memilihnya.

Hmmm, nikmatnya berjemur matahari, meski baju tetap komplit, bukan baju yang kurang bahan. Ah, jadi ingat orang asing yang suka berjemur di Bali atau di pantai-pantai indah Indonesia lainnya. 

Dahulu sebelum tinggal di Jerman, keheranan itu selalu terngiang-ngiang di telinga. "Apa mereka nggak takut kena kanker kulit?", "Apa nggak cemas kulitnya gosong?", "Apa nggak kepanasan?" dan 1001 pertanyaan yang mewakili keheranan di dalam kepala. 

Saya pikir we live under the same sun. Baik orang timur atau orang barat, semua akan mendapatkan kehangatan matahari di mana dan kapan saja. Jadi, mengapa orang suka mandi matahari?

Baru beberapa menit sunbathing di balkon berpagar aluminium itu, tubuh sudah serasa dialiri jutaan energi. Panasnya sungguh terasa. Panas yang bikin saya merindu hangatnya matahari di Indonesia dan kudu menanti sampai Juni hingga Agustus di Jerman. Itu terjadi setiap tahun. 

Bayangkan saja kalau sudah 10 tahun bahkan lebih tinggal di Eropa, sinar matahari yang hangat setiap hari hanyalah sebuah mimpi. 

Seingat saya waktu tinggal di Indonesia, hangat badan setiap hari dan sepanjang hari. Bahkan sampai kepanasan dan gosong, meski nggak sengaja berjemur. Orang masih saja ceria setiap saat.

Tapinya saya juga ingat. Panas yang sama, dihindari jutaan orang di tanah air, termasuk saya waktu masih tinggal di sana. Mulai berlindung di bawah pohon, di bawah payung raksasa, ngadem di mal atau di dalam ruangan saja dengan AC yang menghembus. Ya, ampun ... manusia memang tempatnya salah.

Palem depan balkon aluminium| Dokumentasi Gana
Palem depan balkon aluminium| Dokumentasi Gana
Begitulah dunia, jika berlimpah sinar matahari kurang menyadari bahwa itu akan menjadi barang langka di belahan dunia lain. Orang melewatkan begitu saja. 

Sedangkan orang luar negeri atau orang Indonesia yang tinggal di luar negeri akan selalu merindukannya dan hanya mendapatkan di musim panas atau beberapa saat saja di setiap bulannya. 

Jadi, tidak setiap hari. Barang langka. Makanya nggak heran, begitu matahari nongol, langsung pada nongkrong demi menikmati energi solar. Itulah alasan mengapa orang asing suka berjemur di bawah sinar matahari. 

Anggukan kepala saya yang berkali-kali membuat anting-anting bergoyang dan membuat saya semakin mengerti. Saya menemukan jawabannya!

***

Yup. Berlibur di Ascona memang luar biasa. Anda ingin ke sana? Sayang sekali, wilayah ini sudah ditutup karena kasus corona. Kota yang lebih hangat ketimbang tempat saya merantau itu, sunyi-senyap. 

Semua orang berada di rumah. Entah kapan lagi Ascona kembali mempesona orang untuk berduyun-duyun ke sana.

Berterima kasih kepada teman baik yang mengizinkan kami berada di sana. Kembali ke Jerman bulan Februari itu, membuat saya murung. Sinar matahari akan saya rindukan dan harus sabar menunggu sampai tiba waktunya.

Untung saja, kehangatan matahari mulai terasa minggu ini, di pertengahan bulan Maret di Jerman. Horeaaa, musim semi segera tiba! Bunga narsiskus dan tulip di kebun mulai menyeruak dari tanah. 

Mandelblute yang mirip sakura Jepang di kebun belakang juga mulai genit dengan kuncup bunga warna jambonnya.

Tapinya, hari ini, kembali muram. Dingin telah menghalau matahari untuk lekas pergi. Tuhan, izinkan saya untuk berjemur matahari lagi, walaupun tetap berada di sini. Mepe. We stay home in coronavirus crackdown. What about you? (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun