Secara defenisi “stigma” adalah cap atau persepsi negatif seseorang atau golongan terhadap kehidupan atau diri individu serta golongan lain karena tidak sesuai dengan standar masyarakat normal. Stigma bisa juga dianggap sebagai peremehan terhadap hidup dan usaha orang lain. Akibatnya mereka didiskualifikasi dari kehidupan sosialnya.
Dalam Oxford ‘stigma’ dimaknai dengan ‘ a mark of disgrace associated with particular circumstances, quality, or person’ (suatu cap keaiban yang berkenan dengan keadaan, mutu, atau seseorang).
Sosiolog Kanada Erving Goffman (1959) mendefinisikan stigma sebagai proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang individu atau kelompok di mata individu atau kelompok lain sehingga mengakibatkan individu atau kelompok tertentu kehilangan orientasi hidupnya.
Singkatnya bahwa stigma diciptakan oleh suatu masyarakat ketika melihat sesuatu yang dianggap menyimpang, aneh, berbeda, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai, kebiasan-kebiasaan yang dianut, sehingga menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari kehidupan sosial (alienasi), dan kehilangan perencanaan masa depan.
Dalam konteks para siswa lulusan angkatan 2020, stigma hemat penulis akan berpotensi terhadap hilangnya kepercayaan diri, kegairahan untuk belajar, berjuang atau berusaha, berorganisasi, dan matinya kreativitas dalam diri siswa.
Stigma bisa mengakibatkan hilangnya orientasi masa depan siswa. Tidak hanya itu stigma akan menciptakan ruang ekslusif di mana opini-opini destruktif dibangun.
Fenomena ini menjamur di kalangan masyarakat kita saat ini dan akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup dan masa depan anak-anak bangsa.
Jika hal ini dibiarkan terjadi tanpa adanya suatu upaya penyadaran terhadap masyarakat dari pihak yang berwenang, hemat saya masa depan anak-anak kita (para siswa) yang distigmatisasi bisa jadi dipertanyakan.
Bagaimana mungkin pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang dicita-citakan bangsa akan terwujud jika anak-anak bangsa ditindas stigma-stigma sosial seperti ini?
Tentu saja, beban psikologis-sosial yang menempel dalam diri mereka akan dengan mudah mempengaruhi daya juang, usaha, kreativitas dalam belajar, berkreasi, berorganisasi serta perencanaan masa depan. Semuanya pasti lumpuh. Lantas, apa yang perlu dilakukan pemerintah serta pihak-pihak terkait sebagai upaya solutif mengatasi persoalan ini?
Hemat saya ada beberapa upaya yang bisa dilakukan di tengah pandemi ini;