Mohon tunggu...
Mohammad Fajar
Mohammad Fajar Mohon Tunggu... Guru - Try to learn

Baik Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi TKW atau Menjadi Pelacur

23 April 2019   12:36 Diperbarui: 23 April 2019   12:50 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demikian pula dengan para wanita, begitu banyak wanita yang mengalami penurunan berat badan dan kemudian terbukti divonis HIV, namun sama sekali tidak pernah sekalipun mengandung janin di dalam kandungannya. Apakah virus tersebut diinjeksikan ke dalam tubuh mereka melalui suntikan di pembuluh darah? Tentu jawabannya bisa ya, bisa juga tidak, tergantung situasi dan kondisi. Tapi intinya adalah hubungan seksual itu tidak harus identik dengan kehamilan. 

Dewasa ini banyak metode yang dilakukan oleh wanita untuk mencegah kehamilan. Entah itu dengan pil kontrasepsi atau juga dengan memuntahkan kembali sperma yang sudah terlanjur masuk ke dalam liang kemaluannya. Konon ada pula yang menggunakan kekuatan supranatural untuk mencegah kehamilan tersebut. Saya sendiri berpendapat bahwa kehamilan merupakan mahakarya dari Tuhan. Tanpa dibuahi wanita bisa hamil seperti dalam kasus Nabi Isa. 

Demikian pula pasangan suami istri yang sudah puluhan tahun berumah tangga namun belum juga dikaruniai keturunan, lantas apa yang aneh? Para wanita bahkan bisa mengatakan dengan pasti bahwa anak yang sedang dikandungnya merupakan anak dari si suami, kendatipun yang menyetubuhi si wanita bisa banyak orang. Sepertinya si wanita sudah punya feeling mana sperma yang bisa melewati mulut rahimnya, mana yang tidak.

Jadi perbudakan seksual terhadap para TKW ini sudah begitu menjamur tanpa sekalipun diliput oleh media massa atau diangkat ke dialog-dialog di TV. Hanya sekali-kali saja terdengar berita seorang TKW harus menunggu maut akibat divonis hukuman pancung. Biasanya si TKW membunuh bukan karena dia tidak ingin diperkosa oleh si majikan. Yang menjadi masalah adalah majikannya menaruh rasa berlebih kepada si TKW melebihi seharusnya yang ditandatangani pada kontrak (yakni sebagai pemuas nafsu). Sehingga ketika si TKW merasa tidak puas dengan si majikan dan mencari pelampiasan di luar rumah, si majikan over-protektif atau cemburu dan melakukan tindakan-tindakan di luar kewajaran. 

Terjadilah pertengkaran yang berujung pada nyawa yang harus melayang. Tentunya hal ini tidak perlu terjadi jika kedua belah pihak diberi pengertian. Hal yang sering diliput di TV adalah para TKW yang sudah begitu betah di rantau hingga oleh si majikan diberi kesempatan untuk naik haji berkali-kali. Media seperti lupa atau bahkan tidak peduli untuk mengangkat para TKW-TKW yang begitu asik berburu pria Bangla.

Seperti begitu banyaknya kebohongan yang ditutup-tutupi di tanah air saat ini, tentu ini bukan tanpa alasan. Mengatakan bahwa TKW berkencan dengan pria Bangla adalah sebuah aib yang harus dikubur rapat-rapat. Karena ini pasti akan mencoreng muka departemen tenaga kerja yang menjadi motor para TKW selama ini. 

Sudah begitu miskinkah Indonesia ini sehingga seorang wanita yang seharusnya mengurus rumah tangga, melayani suami dan membesarkan anaknya, harus sendirian di negeri orang guna menjadi babu di tengah orang-orang arab yang sama sekali bukan muhrimnya dan seperti orang kehausan harus menjajakan dirinya ke tangan pria-pria Bangla. 

Saya yakin di antara para pembaca ada yang pernah mendengar hadits Nabi yang melarang seorang wanita untuk bepergian keluar rumah tanpa ditemani muhrimnya? Di Arab Saudi saja ada kebijakan yang berlandaskan hukum Islam bahwa seorang wanita tidak boleh menyetir tanpa ditemani muhrimnya. Menyetir yang sebentar saja tidak boleh jika tidak ditemani muhrim, lantas bagaimana pria-pria di arab sana membiarkan wanita-wanita Indonesia hidup bertahun-tahun dalam rumah mereka tanpa ditemani oleh muhrimnya? Apalagi kalau bukan budak namanya (baca: human-trafficking)?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun