Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jabatan Fungsional (Tak) Seindah Warna Aslinya

16 Juni 2020   20:28 Diperbarui: 18 Juni 2020   12:48 6129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ASN Sedang Upacara (Sumber: tirto.id/antaranews)

Dulu waktu masih staf biasa saya pernah ditawari untuk mengisi jabatan fungsional dengan iming-iming yang aduhai. 

Kalau di jabatan struktural kenaikan pangkat otomatis empat tahun sekali sampai golongan III/d atau kalau S2 bisa sampai IV/a, maka kalau menduduki jabatan fungsional bisa lompat dua tahun sekali kalau angka kreditnya memenuhi syarat. 

Sekilas tawaran itu menggiurkan, namun setelah berkonsultasi dengan kawan yang jadi dosen dan guru, niat tersebut terpaksa diurungkan.

Saya juga heran, kawan saya yang lebih dulu jadi PNS malah golongannya sempat lebih tinggi saya, padahal jelas-jelas dia merupakan pejabat fungsional yang seharusnya lebih cepat naik pangkatnya. 

Dia naik pangkat paling cepat lima tahun dan sekarang pangkatnya baru saja menyamai saya yang sudah tiga tahun lebih dulu naik pangkatnya. Katanya sih males ngurusnya karena ribet dan waktu itu sedang studi di luar negeri jadi belum sempat mengumpulkan berkas untuk dinilai.

Menurutnya, hal yang bikin sulit adalah mengumpulkan angka kredit beserta bukti-bukti pendukungnya. Misal untuk naik pangkat butuh angka kredit 150, sementara setiap kegiatan nilainya antara 1-4, bahkan ada yang cuma nol koma sekian, padahal setiap berkas untuk mendapatkan 1 poin saja tebalnya lumayan. 

Harus ada bukti tertulis berupa laporan, foto atau video, sertifikat, dan bukti lainnya untuk memperkuat 1 poin tersebut. Itupun belum tentu lolos verifikasi, kadang harus dilengkapi, kadang malah ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan jabatan fungsionalnya.

Prosesnya juga tidak sebentar, tergantung tim penilainya. Kebayang kan kalau 1 poin berkasnya setebal 10 halaman saja, kalau 150 poin bisa tiga rim berkas harus diteliti. 

Kadang kalau tim penilainya capek, bisa jadi cuma lihat judul, begitu tidak sesuai langsung dikembalikan, disuruh perbaiki lagi. Kata teman yang dosen jangka waktu pemeriksaan berkas rata-rata bisa 2-3 bulan, itu dalam kondisi normal kalau tidak ada perbaikan fatal, cuma sekedar salah ketik atau salah judul saja. Tapi kalau seluruh laporan ditolak, bisa makan waktu lama lagi untuk memperbaiki dan verifikasi ulang.

Dia malah agak menyesal kenapa tidak jadi PNS struktural saja, lebih ringkas dan cepat aturan kenaikan pangkatnya. Tidak perlu capek-capek urus berkas setumpuk, sudah otomatis naik pangkat seperti ditulis di atas. Setelah sampai golongan IV/a tinggal pintar-pintar lobi dan dikenal saja biar dapat jabatan tinggi hingga bisa naik pangkat lagi sampai mentok.

* * * *

Di sisi lain Presiden Jokowi berupaya memangkas birokrasi dengan merampingkan struktur dan memperbanyak jabatan fungsional untuk memotong birokrasi sekaligus efisiensi anggaran. 

Sayangnya aturan penilaian jabatan fungsional serta rumpun jabatannya masih mengacu pada peraturan lama yang ribet bin njelimet. Padahal di satu kementerian besar saja jabatan fungsionalnya bisa puluhan ribu lebih jumlahnya akibat perampingan tersebut. 

Lalu bagaimana nasib pekerjaan yang belum ada rumpun jabatan fungsionalnya? Apakah harus menumpang pada rumpun jabatan yang ada atau harus buat baru yang tentu harus dibahas lagi berbulan-bulan sebelum jadi peraturan.

Kebayang kalau sistem penilaiannya masih menggunakan aturan lama, sampai hari kiamat bisa jadi angka kredit yang dibutuhkan ga bakalan terpenuhi. 

Apalagi buat pegawai yang terbiasa santai di jabatan struktural, tiba-tiba harus bikin laporan tiap hari demi memenuhi tuntutan kenaikan pangkat dan batas penilaian kinerja minimal. 

Kemudian jumlah kegiatan juga harus ditambah bahkan diada-adakan demi memenuhi tuntutan angka kredit. Niat untuk penghematan malah jadi boros karena harus mengadakan kegiatan dadakan serta kebutuhan ATK meningkat seperti kertas dan tinta karena banyaknya laporan yang harus dibuat.

Belum lagi dengan sumberdaya tim penilai yang terbatas bila tidak ditambah jumlahnya. Sementara berkas yang diperiksa jumlahnya puluhan ribu rim dari ribuan orang yang mengajukan kenaikan pangkat atau penilaian kinerja. Sudah susah-susah mengais-kais angka kredit, lama pula antrian verifikasinya, sudah itu ditolak pula, malang nian nasibmu nak.

Itulah kalau setiap perintah Presiden selaku pimpinan tertinggi tidak dijabarkan secara terstruktur dan sistematis, akhirnya asal dikerjakan saja dulu, yang penting ada wujudnya. 

Daripada menunggu aturan baru yang lama lagi pembahasannya, lebih baik jalan dulu saja. Perkara nanti ada masalah bisa diperbaiki sambil jalan sekaligus menyusun aturan baru yang entah kapan disusunnya, apalagi terealisasi, keburu sudah ganti presiden.

Ujung-ujungnya jalan pintaslah yang diambil. Daripada repot menyusun laporan, mending sewa konsultan atau tenaga ahli untuk menyusunnya. Pegawai tinggal duduk manis terima beres, sementara laporan dikerjakan pihak lain tersebut. Akhirnya niat untuk memberdayakan ASN jadi tampak sia-sia karena masih njelimetnya aturan yang ada.

Oleh karena itu, hendaknya perampingan juga diikuti dengan peraturan yang memudahkan pengumpulan angka kredit berikut alur verifikasinya agar tidak macet di tengah jalan. 

Jangan sampai jabatan fungsional hanya menjadi tempat penampungan ASN yang tidak berguna dan dipersulit kenaikan pangkatnya karena ribetnya aturan lama yang belum direvisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun