Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Swafoto dan Unggah Status, "Narcissistic Personality" atau "Self Branding"?

29 Agustus 2020   19:19 Diperbarui: 21 April 2022   22:33 2007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Swafoto (Sumber: pixabay.com)

"Man is nothing else but what he makes of himself." (Jean-Paul Sartre)

Dalam dunia virtual yang semakin hari semakin mencapai puncak kejayaannya menyuguhkan kebebasan kepada manusia untuk digunakan sebagai media menyalurkan segala hal yang tidak dapat diungkapkan di dunia nyata. 

Perkembangan kecanggihan media sosial masa kini menawarkan dimensi tersendiri kepada para penggunanya untuk menembus batas ruang dan waktu guna menyampaikan berbagai perasaan yang mampu diwakilkan oleh sebentuk unggahan foto, artikel, komentar, status, video, dan lain-lain.

Seberapa seringkah kita mendengar seseorang berkata atau sekedar menuliskan komentar,

"Narsis amat sii, selfie gitu ajha dipost"
"Udah mulai narsis nih, dikit-dikit upload status"
"Julid amat sih, orang itu butuh narsis biar tetep eksis"
'"Ih kebanyakan komen lo, narsis amat"

Narsis. Kata yang tidak asing lagi dalam dunia media sosial. Kecenderungan seseorang untuk berswafoto kemudian mengunggahnya di akun medsos pribadi sepertinya sudah bukan lagi barang baru. Dapat dikatakan ini telah menjadi budaya baru, atau bahkan gaya hidup dan kebutuhan bagi beberapa orang di luar sana.

Terlebih, pada kurun waktu dasawarsa terakhir ini kebutuhan seseorang untuk berkomunikasi telah bergeser dari menggunakan cara konvensional --tatap muka-- kini beralih kepada teknologi gadget.

Sebuah penelitian yang sempat dilakukan beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa banyaknya aplikasi yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada besarnya intensitas orang tersebut menggunakan smartphone.

Dikatakan pula bahwa di kalangan kaum muda negri +62 ini, pengguna smartphone mengecek smartphone mereka sebanyak 100-200 kali dalam sehari. Yang artinya, mereka mengecek smartphone setiap 5-10 menit sekali.

Dalam piramida kebutuhan dasar manusia, Abraham Maslow menyatakan bahwa setiap manusia membutuhkan ruang untuk beraktualisasi diri di kala semua kebutuhan dasar baik kebutuhan fisik, keamanan, self esteem, serta love and belonging needs telah terpenuhi.

Piramida Maslow | Dok.qdnurses.com
Piramida Maslow | Dok.qdnurses.com

Berarti ga pa pa donk kalo kita seneng selfie, trus upload di medsos? Itu kan kebutuhan. Wew tunggu dulu Tuan, Puan....wait, wait, wait,...

Memang benar manusia mempunyai kebutuhan beraktualisasi. Namun, apa yang dimaksudkan oleh Maslow adalah kebutuhan untuk memaksimalkan potensi diri karena semua kebutuhan di atas telah terpenuhi. Tolong cetak tebal, trus garis bawahi memaksimalkan potensi.

Agaknya ini yang sempat membuat blunder bagi kita --bukan hanya kalangan remaja usia muda-- yang senang berswafoto.

Kay, kata narsis pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud, berawal dari sebuah mitologi Yunani, The Fallen Charming --sebut saja begitu-- Narcissus, yang begitu mengagumi ketampanannya sendiri. 

Pada saat ia bercermin pada sebuah permukaan kolam, ia jatuh cinta pada dirinya sendiri, hingga ia benar-benar jatuh ke dalam kolam. (xixixi :).... wadidaw, Narcissus, you were really fallen :v....)

Lalu, sebenernya narsisistik itu apaan seeeh?

Seorang ahli psikologi sosial Amerika, William Keith Champbell pernah mengatakan bahwa narcisism behavior merupakan sikap yang dimiliki individu untuk mempertahankan dan menaikkan penilaian yang tinggi pada dirinya.

Ciri-ciri narcisism behavior antara lain, suka memamerkan diri, merasa super, dan cenderung memanfaatkan orang lain.

Motivasi yang mendasari pergeseran kebutuhan seseorang dari hanya menampilkan potensi diri menjadi kebutuhan untuk mendapatkan pujian atau jempol "like" inilah yang kemudian bisa dikatakan sebagai narcissistic personality disorder (NPD).

Hal yang menjadi penting untuk diperhatikan adalah apabila kita sudah mulai kehilangan empati kita pada orang lain maupun segala sesuatu yang sedang terjadi di sekitar kita. Segala sesuatu selalu diukur berdasar mau saya, self centered, ego saya, hanya pendapat saya saja.

Begitu pula dengan pujian yang datang dalam berbagai wujud. Apabila self adoring telah menjadi sebuah kebutuhan; menjadi tujuan kita mempublikasikan karya kita baik itu secara daring maupun luring, mungkin kita harus waspada, apakah kita sudah memasuki area NPD.

So, kalau memang kita berada dalam ring narcissistic personality -- tanpa embel-embel disorder-- itu masih normal ko. Artinya yha itu menjadi hal yang biasa saja; bukan sesuatu hal yang perlu digelisahkan.

Hati-hati yha gaes... Kondisi NPD itu pun hendaklah dinyatakan secara medis oleh ahli kesehatan yang terkait, bukan dengan melakukan self diagnose.

Jadi, plis lha...jangan langsung ngejulid seseorang itu "narsis". Siapa tahu, kalau dia hanya ingin personal branding (if you don't mind, I call it self branding).

Nah, coba sekarang apakah self branding itu bentuk penyimpangan juga? Hedew, kenapa artikel ini jadi serasa panjang yha...

Kay, singkat saja. Karena ada begitu banyak anggapan yang timbul di masyarakat tentang aktifvitas self branding yang akhir-akhir ini cukup tinggi, sekalian ajha kita bahas fenomena ini secara singkat ajha yha...

Self branding adalah aktivitas seseorang untuk menampilkan potensi atau kemampuan yang memang benar-benar nyata ia miliki, bukan upaya pencitraan yang sifatnya hanya sementara. Sifat kekekalan sebuah self branding biasanya akan lebih long lasting karena ada pesan integritas diri serta melalui masa waktu yang panjang di dalam proses aktualisasi tersebut.

Bicara soal self branding, boleh donk kita sentil sedikit soal Bang Giring Ganesha yang sekarang pindah panggung. 

Bang Giring yang cukup sukses menggiring Nidji menjadi band pentolan Indonesia memang telah diakui banyak pihak. This is personal branding. Saya juga ngefans kok... personal branding yang ia perjuangkan --sebelum join dengan para legislator-- susah payah di dunia entertainment sungguh membuahkan hasil yang tidak mampu disangkal publik. 

Naiknya beliau ke panggung politik kekinian mungkin menjadi sebuah pertanyaan, apakah self branding yang ia bawa dari dunia entertain cukup menjadi modal awal, sehingga kredo masyarakat terhadap kapabilitas kepemimpinannya sebagai negarawan pun terpenuhi? 

Cukupkah kebersihan diri dari tindak korupsi mampu menjadi modal memperoleh restu dari ibu-ibu di negri pertiwi yang menjadi incaran target kantung suara pemilihnya tahun 2024 mendatang? 

Kata Bang Giring, "Kita buktikan saja."

Pengalaman perjuangan beluau di meja legislator selama ini apakah cukup untuk menjadi jubahnya maju menduduki tahta eksekutif? Atau Abang pendendang "Laskar Pelangi" ini perlu berdendang kembali,

Yakinkan aku Tuhan dia bukan milikku, biarkan waktu, waktu,.....hapus aku

Now, what bout us?..... Gimana? Apakah kita juga termasuk dalam kategori mereka yang suka narsis? Atau karya kita selama ini adalah self branding? Jawabnya, kita sendiri yang menentukan. Narsis atau self branding?

Next post kira-kira bakal ngobrolin apa lagi yhaaa... 

Salam sehat

Sumber: Maslow, Abraham H., 1954. Motivation and Personality. New York: Harper and Bros.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun