Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Worklife Balance, Take It or Leave It

1 Februari 2021   16:04 Diperbarui: 3 Februari 2021   16:20 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Auzi Amazia via Kompas.com)

Bila bicara tentang keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, khususnya untuk pekerja di beberapa perusahaan swasta di negeri tercinta ini, saya rasa sepertinya masih jauh panggang dari api.

Waktu yang dimiliki pekerja pastinya akan lebih banyak digunakan untuk bekerja daripada untuk kehidupan pribadi.

Hal ini terjadi salah satu pemicunya bukan karena kemauan pekerja, namun lebih banyak karena kemauan perusahaan. Setidaknya, hal ini yang pernah saya alami dulu ketika masih bekerja.

Bekerja di sektor jasa keuangan, jam kerja bisa berubah setiap hari. Aturan resminya memang ada, sekian jam. Namun dalam.praktiknya, manajemen berhak mengubah sesuai kebutuhan.

Berkali-kali, ketika saya sedang hamil, saya bahkan harus berada di kantor antara 10-12 jam setiap hari. Padahal kehamilan saya cukup payah. saya mengalami mabuk berbulan-bulan.

Ya begitu dengan berbagai alasan, manajemen bisa menahan karyawan untuk lebih lama berada di kantor.

Hal yang sama dialami suami sebelum pandemi. Mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sepertinya cukup sulit. Hampir setengah waktu dari hari-harinya digunakan untuk bekerja.

Bagaimana tidak? Suami berada di kantor rata-rata sekitar 11-12 jam setiap hari. Waktu perjalanan pergi-pulang sekitar 2,5 jam. Suami hanya menghabiskan waktu kurang lebih 11 jam saja di rumah. Itupun belum dipotong waktu tidur malam sekitar 7 jam.

Jadi, hanya tersisa waktu 4 jam saja untuk berinteraksi dengan anak dan istri. Belum lagi bila terkadang harus melanjutkan pekerjaan kantor di rumah. Semakin sempit waktu untuk kehidupan pribadi.

Setiba di rumah pun pastilah sudah dalam kondisi tubuh yang lelah, sekalipun suami jarang menunjukkannya.

Selain itu, hari kerja bukan 5 hari, tetapi 6 hari hingga hari Sabtu. Meskipun di hari Sabtu resminya hanya setengah hari kerja, namun tetap ada saja pekerjaan yang harus dituntaskan sebelum menginjak hari baru di minggu berikutnya. Dan suami baru bisa tiba di rumah di hari Sabtu antara pukul 4-5 sore.

Lalu di hari Minggu, kami tetap harus keluar rumah untuk beribadah di gereja.

Tidak hanya itu, manajemen kantor juga sering menjadwalkan kegiatan di luar kantor, seperti outing dan training, baik di dalam maupun di luar kota, pada akhir pekan. Otomatis, hari untuk keluarga pun terpakai juga untuk bekerja.

Aturan lainnya, mengambil cuti tidak bisa semaunya. Harus ada alasan penting yang sangat mendesak, untuk pengajuan cuti bisa disetujui. Tanpa itu, jangan berharap banyak. Apalagi misalnya hendak mengambil cuti untuk pergi berlibur, mimpi saja cukup. Mengajukannya saja suami tidak akan berani.

Terbayang bagaimana lelahnya. Hampir tiada satu hari pun istirahat penuh di rumah.

Bukannya tidak ingin menerapkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, tetapi status sebagai karyawan, mau tidak mau mengikuti aturan dan ketentuan perusahaan.

Itu di satu sisi. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, pengaturan jam dan hari kerja yang padat oleh manajemen, berbanding lurus dengan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Perusahaan memberi perhatian lebih pafa kesejahteraan karyawan, juga keluarganya.

Setidaknya, bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain dengan bidang usaha sejenis, kompensasi yang diberikan masih lebih baik.

Itu pula sebabnya, sekalipun terkadang saya kesal dengan kondisi ini, saya melatih diri untuk tidak mengeluh. Sebaliknya, saya justru selalu menguatkan suami, menghiburnya dengan kalimat-kalimat positif

Terutama bila di hari-hari tertentu, sepulang kerja, saya melihat kelelahan terpancar jelas di wajahnya.

Saya pun menahan diri untuk tidak menanyakan perihal pekerjaan kantor, sekalipun saya seringkali penasaran dengan apa yang barusan dihadapinya di kantor, bila ia pulang dengan wajah kusut. Saya tidak ingin menambah keruwetannya dengan pertanyaan-pertanyaan saya yang bisa saja mengganggunya.

Biarkan dia menyelesaikan masalahnya dalam diam. Saya tahu, dalam diam, pikirannya terus bekerja. Kalaupun ada sesuatu yang sangat penting dan berkaitan dengan kehidupan keluarga, biasanya dia pasti segera menyampaikannya.

Tetapi saya angkat topi pada suami. Hampir tidak pernah keluar keluhan dari mulutnya. Baik tentang jam kerja yang panjang, tentang pekerjaan kantor, tentang rekan-rekan kerja, atau tentang atasannya. Hampir tidak pernah. Semangat kerjanya tak pernah terlihat padam. Padahal saya tahu sekali pekerjaannya cukup di bawah tekanan, dan bisa memicu tingkat stres yang tinggi.

***

Datangnya pandemi membawa sedikit angin segar pada aturan jam dan hari kerja di kantor suami.

Saya cukup bersyukur dengan hal ini. Sekalipun pandemi meluluhlantakkan banyak sendi kehidupan, namun paling tidak, membawa sisi positif bagi kehidupan keluarga kami, dan mungkin juga bagi banyak keluarga.

Sejak pandemi, hari kerja suami sekarang menjadi hanya lima hari dalam seminggu. Hari Sabtu menjadi hari libur.

Selain itu, pola 2-1 yang diterapkan perusahaan (2 hari WFO, 1 hari WFH) membuat suami punya waktu lebih di rumah, dibandingkan dengan masa sebelum pandemi. 

Adanya pandemi seolah mengingatkan saya, bahwa segala sesuatu indah pada waktunya.

Mungkin beberapa tahun ke belakang, kami sulit mendapatkan waktu lebih untuk berinteraksi dengan suami. Namun, semua terbayarkan pada pandemi ini. Bahkan karena harus di rumah saja, suami pun memiliki waktu lebih kala WFH, kerinduan untuk lebih sering bersama pun terpenuhi. Mengganti hari-hari lalu yang telah dihabiskannya untuk bekerja dan bekerja.

Adanya pandemi juga memberikan pelajaran berharga untuk selalu bersyukur dalam situasi apapun. Bagaimanapun beratnya pekerjaan, tenaga yang terkuras hanya untuk bekerja, dan sempitnya waktu berkumpul bersama keluarga, sebaiknya tetap bersyukur. Bersyukur atas apa yang dimiliki saat ini, meskipun belum terlihat ideal.

Sebagai pekerja, yang mengabdikan diri kepada pihak lain, yaitu perusahaan tempat bekerja, seringkali pekerja hanya memiliki dua pilihan: take it or leave it (ambil atau tinggalkan).

Bila memilih take it, berarti harus siap dan bertanggung jawab pada aturan main perusahaan, dengan segala konsekuensinya.

Saya melihat hal ini pada suami. Pilihannya hanya take it, atau kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan kompensasi yang baik hilang.

Dan suami bertanggung jawab pada pilihannya. Sehingga dia tidak ragu dan juga tidak mengeluh kala aturan main itu merenggut cukup banyak waktu untuk kehidupan pribadi dan keluarganya.

Andaikata memilih meninggalkan atau leave it, tentu harus menanggung resiko pula untuk mencari pekerjaan baru. Dan ini bukan perkara mudah untuk mendapatkan pekerjaan, terlebih yang sesuai dengan apa yang kita sukai atau sesuai dengan maunya kita. Apalagi di masa pandemi ini, tingkat pengangguran semakin tinggi.

Melalui hal ini, saya belajar makna tanggung jawab darinya. Juga makna bersyukur dalam segala hal. Menjalani apa yang sudah menjadi pilihan dengan penuh tanggung jawab dan bersyukur, juga berusaha mencintai pekerjaan, akan membuat jiwa dan jasmani lebih sehat, ketimbang terus mengeluh dan bersungut-sungut.

Kehidupan kadang kala memang tidak bisa benar-benar seimbang. Bila di satu sisi lebih, di satu sisi lainnya berkurang. Atau sebaliknya. Dituntut keikhlasan kita yang menjalaninya untuk selalu bersyukur.

Kita pun tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pencapaian. 

***

Salam
Martha Weda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun