Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Widi Utami, Blogger dan Kompasianer Tuna Rungu Asal Salatiga

8 November 2018   16:43 Diperbarui: 8 November 2018   20:32 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Widi Utami, perempuan tangguh yang pantang mengeluh (foto: dok pri)

Widi Utami (26) ibu muda warga Klampeyan RT 01 RW 03, Noborejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, adalah sosok cerdas dan tangguh. Perempuan penyandang tuna rungu tersebut merupakan seorang blogger sekaligus Kompasianer yang menempuh pendidikan di sekolah umum. Seperti apa perjuangannya dalam meraih kehidupannya, berikut catatannya.

Sebagai sesama Kompasianer, saya mengenal Widi sebatas dirinya adalah seorang penulis yang produktif. Kendati sama- sama tinggal di Kota Salatiga, interaksi di antara kami dilakukan melalui dunia maya. Hingga akhirnya, Senin (5/11) sore,  secara tak sengaja saya mampir ke rumah Bekti Umiyati yang ternyata merupakan kakak kandungnya.

"Widi adik kandung saya yang paling bungsu," kata Bekti sembari memanggil Widi yang rumahnya berdekatan.

Seperti galibnya dua sahabat yang bertemu, kami langsung berjabatan erat seraya mengobrol. Nah, baru beberapa kalimat, saya tertegun dan penuh tanya. Kenapa setiap saya berbicara tanpa bertatap muka, Widi sepertinya kebingungan.

Baru setelah kakaknya memberitahu bahwa Widi sejak bayi tuna rungu, saya jadi mafhum adanya. "Widi harus melihat gerak bibir lawan bicaranya," jelas Bekti.

Dua sahabat akhirnya bertemu di dunia nyata (foto: dok pri)
Dua sahabat akhirnya bertemu di dunia nyata (foto: dok pri)
Duh, maafkan sahabatmu ini Widi yang terlalu naf sehingga tak mampu membaca gesturmu. Begitu mengetahui Widi penyandang tuna rungu, saya langsung merengkuhnya.

Sungguh tak menyangka, perempuan cerdas yang di dunia maya sangat komunikatif ini, ternyata tidak sedari bayi tidak bisa mendengar apa pun.

Saya pun semakin mengapresiasi keberadaannya, sebab, sebelumnya saya hanya berinteraksi tanpa bertatap muka.

Tertarik dengan sosok Widi, akhirnya saya berupaya menggali lebih detail tentang dirinya. Hasilnya, perjuangan perempuan kelahiran tanggal 15 Febuari 1992 sangat luar biasa.

Bagaimana tidak? Ia yang tuna rungu, menolak bersekolah di SDLB (Sekolah dasar Luar Biasa), dia memilihi menempuh pendidikan di SD umum tanpa menggunakan alat bantu dengar (ABD).

"ABD tak membantu Widi, jadi dirinya secara  otodidak belajar berkomunikasi  sendiri," ungkap Bekti.

Menurut Bekti, pihak keluarga baru mengetahui bahwa Widi mengalami gangguan pendengaran saat dirinya akan memasuki bangku SD. Setelah memastikan anak bungsu itu tuna rungu, keluarganya mulai melatihnya berkomunikasi.

"Dia sering ngamuk karena tak paham, tapi keluarga memaksanya. Satu kosa kata, harus diulang berulangkali agar dirinya mengerti," ungkap Bekti.

Widi didampingi Waluyo, kakak iparnya (foto: dok pri)
Widi didampingi Waluyo, kakak iparnya (foto: dok pri)
Diterima di Sekolah Favorit

Hanya untuk berbicara saja, Widi membutuhkan perjuangan yang keras. Di mana, gerak bibir lawan bicara menjadi fokus memulai suatu pembicaraan. Hingga akhirnya ia bersekolah di tingkat SD, kemampuannya berkomunikasi semakin terasah setelah bisa membaca buku. Sebab, dari buku pelajaran itulah otaknya terisi beragam kosa kata. Praktis, masa pendidikan dasar 6 tahun berhasil dilewatinya dengan mulus.

Hingga tahun 2004, Widi lulus dari bangku SD, tentunya ia pantang berpuas diri mengantongi ijasah SD. Oleh kakak iparnya yang bernama Waluyo, dirinya didaftarkan ke SMP Negri 1 Kota Salatiga. Padahal, ini adalah sekolah lanjutan paling favorit di Salatiga.

"Dia diterima, tetapi kami tidak memberitahu pihak sekolah bahwa Widi tuna rungu," kata Waluyo yang ikut berbincang.

Bila sebelumnya hanya berkumpul dengan teman- temannya yang jumlahnya terbatas (satu kelas), begitu memasuki bangku SMP, Widi harus berinteraksi dengan ratusan rekan barunya. Sebab, di SMP favorit ini, muridnya mencapai sekitar 12 kelas.

"Ada yang sudah mengetahui Widi tuna rungu, namun banyak yang tidak tahu. Akibatnya di awal sekolah, Widi kesulitan berinteraksi," imbuh Waluyo.

Kendati banyak menemui kendala sewaktu duduk di bangku SMP, khususnya pada mata pelajaran bahasa Inggris, namun Widi mampu menamatkan sekolahnya tanpa halangan apa pun. Bahkan untuk bahasa Inggris, nilai yang didapatnya mencapai angka 8.

"Berbekal nilai ebtanas murni, Widi mendaftar ke SMA Negri 1 Kota Salatiga," jelas Waluyo.

SMA Negri 1, seperti juga SMP Negri 1 Kota Salatiga adalah sekolah paling favorit. Alhamdulillah, Widi diterima dan masuk kelas IPA.

Sebelum memulai sekolah, ia seperti siswa lainnya juga terkena kewajiban membayar uang sumbangan pengembangan institusi (SPI) atau lazim disebut uang gedung. Besarnya mencapai Rp 3,7 juta, bukan duit yang sedikit bagi orang tua Widi.

"Kami mengajukan permohonan keringanan, akhirnya hanya terkena Rp 2,5 juta," ungkap Waluyo.

Di bangku SMA inilah Widi mulai menemui kesulitan, bahasa Inggris yang menjadi momok sejak SMP, semakin berat. Pasalnya, untuk kelas X (kelas 1 SMA), terdapat ujian listening mau pun speaking, padahal, Widi tak mampu mengucapkan huruf M secara secara baik.

"Saya sempat meminta dispensasi agar dibebaskan dari pelajaran praktek bahasa Inggris, namun, tidak dikabulkan," tutur Widi.

Karena tak terealisasi, maka makin lengkap perjuangan Widi. Tertatih-tatih ia berupaya keras mengikuti aturan yang ada.

Tentunya hal ini membuat ayahnya Sukamto mau pun ibunya Siti Rumzah merasa perihatin, mereka pun membelikan ADB. Sayang, perangkat elektronik itu tidak banyak membantu.

"Akhirnya, ya, tak saya pakai," tuturnya.

Kendati mata pelajaran bahasa Inggris, khususnya pada listening mau pun speaking Widi jelas terbata- bata, akhinya di tahun 2010 ia berhasil lulus dengan nilai yang lumayan.

Bahkan, di bahasa Inggris dirinya mendapatkan nilai 7,6. Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Widi meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Kota Salatiga.

"Saya memilih fakultas Tarbiyah karena ingin mengabdikan diri sebagai seorang pendidik," ungkapnya.

Menulis Buku

Kendati sebenarnya sejak bangku SD sudah mempunyai hoby menulis, namun, Widi baru berani menekuni dunia tulis menulis ketika berstatus sebagai mahasiswi. Tahun 2012, dirinya bergabung dengan Kompasiana bersama ratusan ribu Kompasianer lainnya. Sayang, dirinya kurang produktif. Padahal, artikel yang ditulisnya lumayan bagus.

"Saya juga kurang berinteraksi dengan rekan- rekan Kompasianer lainnya," akunya.

Secara perlahan, tangannya terus menghasilkan berbagai tulisan ringan. Bahkan,Widi sempat menerbitkan buku fiksinya berjudul Mahkota Untuk Emak.

Sayangnya, akibat kurangnya publikasi, ditambah menurunnya minat baca masyarakat, buku perdananya belum mampu cetak ulang.

"Ini saya ambil hikmahnya, publikasi sangat berperan penting dalam pemasaran sebuah buku," ungkapnya.

Buku fiksi perdana yang ditulis Widi (foto: dok pri)
Buku fiksi perdana yang ditulis Widi (foto: dok pri)
Tahun 2014, saat menyandang status mahasiswi, Widi terjerat asmara. Pemuda bernama Ahmad Budairi rupanya mampu memikatnya, sehingga, tanpa menunggu lebih lama, mereka sepakat untuk meneruskan kisah kasihnya menuju pelaminan.

"Hasilnya, sekarang kami sudah memiliki anak laki- laki bernama Kevin," tutur Widi.

Pernikahannya dengan Ahmad Budairi yang seorang programmer IT, sekaligus jago membuat website membuat Widi makin mengenal dunia blogger.

Dirinya bertambah getol menulis di dunia maya, tentunya atas dukungan sang suami. Keinginan semasa kuliah jadi seorang pendidik, dikuburnya dalam- dalam.

"Sekarang, lebih banyak menekuni pekerjaan sebagai blogger," ungkapnya.

Perihal dunia pendidikan yang sudah ditinggalkan, menurut Widi, bukan tanpa alasan. Dirinya teringat ketika menjalani PPL  mengajar, guru pendampingnya tak mau memaklumi ketika Widi merasa kesulitan berkomunikasi dengan murid- murid yang ada. Sehingga, setelah diwisuda tahun 2016, praktis gelar sarjananya belum pernah dimanfaatkan.

"Saya mengajar Kevin sajalah," ujarnya seraya tergelak.

Widi bersama anak dan suaminya tercinta (foto: dok pri)
Widi bersama anak dan suaminya tercinta (foto: dok pri)
Saat ini, selain sibuk mendampingi Kevin putra semata wayangnya dan menulis di dunia maya, Widi juga aktif di komunitas Sahabat Tuli Salatiga yang bermarkas di di Sarang Lebah Kembang Arum. Tiap hari Sabtu, mulai pk 10.00- 13.00, selalu digelar sosialisasi bahasa isyarat bagi penyandang tuna rungu.

"Kegiatan ini terbuka bagi siapa pun, karena sifatnya sosial," jelasnya seraya mengimbau agar para orang tua yang mempunyai anak tuna rungu mau bertandang ke Sarang Lebah Kembang Arum.

Itulah sedikit catatan tentang Widi Utami, perempuan cantik penyandang tuna rungu yang berjuang agar mampu setara dengan perempuan- perempuan normal lainnya. Banyak kegetiran yang telah dijalani, namun perempuan muda tangguh itu pantang mengeluh.

Sebagai apresiasi atas perjuangannya, saya sengaja menuliskannya untuk Indonesia. Semangat Widi ! Kami semua mendukung dan menyayangimu. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun