Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Benarkah Petani Masih Belum Sejahtera?

13 Mei 2020   21:25 Diperbarui: 16 Mei 2020   03:50 2434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tangkaplayar IG akun @hariankompas

Membaca karikatur harian Kompas hari ini yang dimuat ulang di IG @hariankompas yang menggambarkan kehidupan petani masih belum sejahtera atau bahkan miskin daripada profesi lainnya membuat saya merenung. 

Apalagi di karikatur tersebut tergambar pula para cukong berdasi dalam wujud orang-orangan sawah atau dalam budaya Jawa disebut memedi sawah yang dibuat untuk menakut-nakuti burung pipit dan manyar sebagai salah satu hama padi. Namun pada karikatur itu, memedi sawah ini tidak menakuti burung-burung pipit dan manyar tetapi justru menakuti petani.

Siapakah memedi sawah atau cukong berdasi itu? Pengijon, tengkulak, para pengusaha (penggilingan) beras, atau para pejabat pengambil keputusan harga dan import beras atau hasil pertanian lainnya? Saya yang kadang menjadi tengkulak pun merasa tersentil. Apalagi beberapa kali di akun medsos, saya bergaya narsis bak cukong atau tengkulak kala berhasil menawar sepetak padi yang siap panen. 

Padahal kenarsisan saya ini bukan sekedar nampang tapi untuk memberi contoh kaum muda bahwa kita yang hidup di negeri agraris ini mempunyai banyak kesempatan bekerja di sektor pertanian. Apa pun bentuknya asal saling menguntungkan.

Ada sekitar 17 draft tulisan saya tentang pertanian yang siap posting dan menunggu waktu yang tepat untuk tayang, namun 4 draft yang siap kini menjadi buyar karena karikatur tersebut. 

Keempat draft tulisan tersebut yakni, Mengapa Kaum Muda Enggan Bertani, Pengijon dan Tengkulak, Kesejahteraan Petani dan Buruh Tani, dan Tanaman Padi Mulai Ditinggalkan Petani. Draft-draft ini saya olah lagi menjadi tulisan ini untuk menanggapi karikatur tersebut. 

Keluaga petani sayur di Desa Banjarejo, Kabupaten Malang. Dokpri
Keluaga petani sayur di Desa Banjarejo, Kabupaten Malang. Dokpri
Tengkulak kecil yang baru membeli sayur petani. Dokpri
Tengkulak kecil yang baru membeli sayur petani. Dokpri
Benarkah petani kita masih hidup pra sejahtera?

Sebagai tengkulak yang kadang mengadakan perjalanan ke daerah pelosok, pada masa kini sulit menemukan gambar nyata para petani hidup di garis kemiskinan atau pra sejahtera. 

Sejak lima belas tahun terakhir hampir sangat sulit menemukan rumah-rumah bambu atau gedek atau rumah klenengan separuh dinding bata dan separuh gedek.

Sebaliknya menemukan rumah-rumah bergaya masa kini berlantai keramik dengan dua atau tiga sepeda motor serta penghuninya memegang smartphone adalah hal biasa. Bukankah ini sebagai tanda bahwa kesejahteraan petani sudah meningkat tajam.

Memang ada beberapa pengecualian, di mana kehidupan masyarakatnya tampak demikian makmur padahal sawah dan ladangnya boleh dikatakan tandus dan hanya subur saat musim penghujan atau sawah tadah hujan.

Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat seperti di sepanjang pedalaman pantai selatan Jawa mulai Banyuwangi bagian selatan hingga Gunung Kidul di Jogjakarta sebagian disebabkan warganya bekerja di luar kota bahkan menjadi TKI. Tetapi perkembangan pertanian dan perkebunan karena upaya pemerintah di wilayah tersebut juga tak bisa diabaikan begitu saja.

Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian tentu saja mengubah tolok ukur garis kemiskinan pada masa sebelum masa reformasi dan masa kini. 

Di sinilah kadang timbul kerancuan siapa yang sebenarnya bisa dianggap pra sejahtera atau tidak. Jangan-jangan buruh tani yang tidak punya tanah dianggap miskin padahal kala tidak ada garapan kadang menjadi pedagang K5 yang hasil perbulannya melebihi tenaga honorer yang hanya berharap menjadi ASN!

Atau, petani yang memiliki lahan kering dan tandus seluas setengah hektar namun rumahnya tak dirawat karena ditinggal kerja di luar kota maka dianggap pra sejahtera.

Melihat hamparan padi yang akan ditawar. Dokpri
Melihat hamparan padi yang akan ditawar. Dokpri
Memborong salak untuk pabrik kripik. Dokpri
Memborong salak untuk pabrik kripik. Dokpri
Mengapa kaum muda desa enggan bertani?

Pertanian bukanlah lahan padat karya yang menjanjikan penghasilan yang cukup dengan godaan duniawi yang kini menjadi sebuah kebutuhan gaya hidup.

Dulu menanak nasi memakai dandang sekarang ricecooker, dulu memasak dengan kayu bakar sekarang gengsi jika tidak menggunakan gas, dulu membawa hasil panen dengan cara dipikul sekarang diangkut dengan sepeda motor, dan masih banyak lagi.

Bukan sesuatu yang salah karena ini perubahan jaman. Tetapi kehidupan konsumtif seperti ini mengharuskan setiap orang untuk meningkatkan pendapatan maka bekerja selain sebagai petani adalah tuntutan. Maka meninggalkan kampung halaman bukanlah hal yang tabu demi kesejahteraan yang lebih.

Pada akhirnya menurut penulis, kesejahteraan petani dan buruh tani tidak bisa diukur hanya karena faktor luar yakni gentayangannya para memedi sawah yang memakai dasi alias para tengkulak dan cukong. Tetapi lebih disebabkan luas sempitnya dan subur gersangnya lahan garapan mereka.

Di sisi lain, terutama di daerah subur seperti wilayah pegunungan daerah Magetan, dataran tinggi Dieng, Malang dan sekitarnya serta tempat yang perairannya cukup bagus lebih banyak menanam komoditas lain seperti sayur-sayuran, bawang merah, atau cabai.

Tentu saja dengan alasan lebih mudah penggarapannya dan berusia pendek sehingga kala harga turun tidak terlalu rugi daripada menanam padi yang paling sedikit membutuhkan waktu 4 bulan mulai pengolahan tanah.

Melihat cabai yang siap panen untuk dibeli. Dokpri
Melihat cabai yang siap panen untuk dibeli. Dokpri
Tawar menawar untuk bagi hasil. Dokpri
Tawar menawar untuk bagi hasil. Dokpri
Tak ada salahnya sebagai tengkulak. Dokpri
Tak ada salahnya sebagai tengkulak. Dokpri
Pengijon dan tengkulak.

Sejak masa Orba hingga kini telah dibentuk kelompok tani hingga Gapoktan yang salah satu tujuannya meningkatkan pengetahuan petani baik dalam olah tanam hingga menjual hasil buminya. Komunitas seperti sedikit demi sedikit telah mengikis keberadaan pengijon yang kini mulai tak berkutik. 

Menjadi pengijon pun tak selamanya menguntungkan sebab kala tanaman telah dibeli atau dibayar sebelum berbunga biasanya para petani juga enggan menggarap dengan baik sehingga kualitas dan kuatintas produksinya pun menurun. Pada masa kini kerjasama pengolahan lahan lebih sering bagi hasil seperti yang telah saya tulis di sini: kompasiana.com/aremangadas.

Beda dengan pengijon yang membeli saat tanaman masih muda dengan harga perkiraan yang jauh dari harga pasar, maka tengkulak membeli saat panen hampir tiba atau kala sudah dipanen.

Tentu saja harga masih di bawah pasar karena transportasi menjadi tanggung jawab tengkulak. Namun selisih harga (gabah) per kg kadang hanya 50-100 rupiah saja lebih dari itu maka dianggap lintah darat.

Pesan orang tua pada tengkulak 'pari lan beras kuwi sumber pangane wong mula aja golek bathi gedhe, ora ilok' Artinya 'padi dan beras adalah sumber makanan orang, maka jangan mencari untung yang besar, tidak elok.' Kecuali harga buah selisih harga bisa 250-500 per kg.

Maka jika seorang tengkulak berhasil membeli gabah satu hektar dan untuk dijual lagi ke pabrik pengolahan beras keuntungan yang didapat tak lebih dari satu juta.

Sedikit sekali? Memang begitulah kenyataannya.  Namun jika bisa membeli puluhan ton tentu bisa memperoleh keuntungan besar. Sama seperti petani dengan lahan sempit tentu saja keuntungan yang didapat pun tak sebesar yang memiliki lahan yang luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun