Mohon tunggu...
Anastasia Retno Pinasti
Anastasia Retno Pinasti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang

Adventurer who traces footprints with words and writings. Exploring the diverse world like a color palette to create eternal masterpieces.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Titik Nol: Perempuan Melawan Patriarki

27 April 2024   09:00 Diperbarui: 27 April 2024   09:01 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Perempuan di Titik Nol (Gramedia.com)

“Saya bukan seorang pelacur. Tetapi sejak semula, Ayah, Paman, suami saya, mereka semua, mengajarkan untuk menjadi dewasa sebagai pelacur.” [PDTN: 162]

Hidup Firdaus bak terjebak dalam kubangan lumpur hidup, menjadi korban pelecehan seksual saat kecil, dinikahkan dengan pria berumur yang kasar, kesulitan mencari kerja akibat hanya memiliki ijazah sekolah menengah, ditipu dan dimanfaatkan oleh lelaki, hingga hidup sebagai pelacur. Pengalaman penindasan oleh karena budaya patriarki mendorong Firdaus untuk menghancurkan belenggu yang mengekangnya.

Di saat perempuan lain dengan “legowo” menerima penindasan akibat dominasi lelaki, ia berani mengambil langkah untuk bebas dari belenggu patriarki. Prinsip tubuhnya adalah miliknya sendiri adalah suatu pemikiran yang langka untuk disadari oleh para perempuan di lingkungannya. Ia mengambil langkah menjadi individu merdeka dengan menjadi pelacur yang berani memutuskan nilainya.

“Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada seorang istri yang diperbudak.” [PDTN: 151]

Pernyataan yang cukup ekstrim dan tajam, namun menampar realita pahit kehidupan akan budaya patriarki. Sosok Firdaus merupakan simbol pemberontakan dan penolakan terhadap takdir yang ditentukan oleh para lelaki. Tubuhnya tak lagi dikontrol dan dieksploitasi untuk kepentingan mereka, tanpa mempertimbangkan kehendak dan rasa sakitnya. Firdaus memulai “kemerdekaannya” dengan mengontrol diri sesuai kehendaknya sendiri.

Walau pada akhirnya ia sadar jika pekerjaannya sebagai pelacur adalah hal yang tak terhormat, tetapi ia berani untuk mengoreksi diri dan tidak bergantung pada lelaki. Firdaus tak memberikan lelaki kesempatan untuk memainkan peran sebagai seseorang “suci” yang akan menyelamatkan dan mengatur hidupnya lagi. Sosok Firdaus mengajarkan bahwa perempuan memiliki hak untuk memilih dan mengklaim kebebasan akan hidupnya.

Mengoyakkan Belenggu Patriarki 

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia." - Nelson Mandela

Mereka yang menderita hanya dapat berdiam diri karena ketidakberdayaan akibat kebodohan dan kebebalan. Kebodohan bisa terjadi secara alamiah namun bisa juga terjadi karena pembodohan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan kekuatan utama yang dibutuhkan perempuan untuk lepas dari belenggu patriarki.

Perempuan dan laki-laki hidup sebagai partner. Tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi. Laki-laki dan perempuan memiliki hak, kesempatan, dan tanggung jawab yang sama dalam segala bidang baik dari segi ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik.

Tak melulu soal sekolah atau pendidikan formal lainnya, pendidikan pertama seseorang berasal dari keluarga. Menilik kisah Firdaus yang sedari kecil diperkenalkan dengan kekerasan dalam rumah tangga, belenggu patriarki dapat dilepaskan dengan dengan memberikan teladan perilaku yang positif di keluarga. Anak cenderung meniru apa yang orang dewasa lakukan. Oleh sebab itu sikap saling menghormati, nilai keadilan, dan nilai kesetaraan harus ditanamkan kepada generasi penerus kita.

Sebagai generasi Z yang hidup di era serba digital, pendidikan anti diskriminasi dapat diberikan oleh semua orang. Lewat layar gadget seseorang dapat berperan sebagai guru untuk melawan diskriminasi gender. Memaparkan isu toxic patriarchy, berdiskusi dalam kolom komentar, mempengaruhi orang lain untuk peduli dan meningkatkan awarness masyarakat akan kesetaraan gender dan bahayanya stereotip gender. Kritik patriarki dapat diberikan lewat karya sastra, musik, dan konten yang bersifat entertain sehingga kita dapat belajar untuk merefleksikan norma-norma sosial dan budaya yang diskriminatif dan mendorong perubahan menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.

Aku Hidup, Aku Meredeka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun