Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Terima Kasih Joko Pinurbo

27 April 2024   13:16 Diperbarui: 29 April 2024   02:06 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyair Joko Pinurbo berbicara dalam peluncuran buku kumpulan puisinya yang berjudul Epigram 60, Senin (16/5/2022), di Toko Buku Gramedia Sudirman, Yogyakarta. (Foto: KOMPAS/HARIS FIRDAUS)

Sarung adalah bentuk simbolik, bagian dari ekspresi kebudayaan orang-orang miskin, walau tidak lantas bermakna dimonopoli oleh mereka yang malang. Oleh Joko Pinurbo, kegetiran, kenestapaan dan permainan humor yang sendu diimbuhkan; sedih tapi lucu. 

Walau begitu, sarung jelas baru satu perkara saja. Ada satu puisinya yang secara tak sengaja saya temukan rak Toga Mas belum lama ini.  

Puisi yang juga pendek saja ini berhasil menghadirkan lagi memori akan sebuah tempat yang identik dengan keseharian jelata, ngobrol dan nasib, serta cahaya remang di bawah malam.  

Sepotong Hati di Angkringan

Pada suatu malam yang nyam-nyam
kau menemukan sepotong hati yang lezat
dalam sebungkus nasi kucing. Kau mengira
itu hati ibumu atau hati kekasihmu. Namun
bisa saja itu hati orang yang pernah kausakiti
atau menyakitimu. Angkringan adalah nama
sebuah sunyi, tempat kau melerai hati,
lebih-lebih saat hatimu disakiti sepi.

Ketika membaca judulnya, saya berpikir akan terkenang kepada (alm) Bapak dan adik lelaki saya--dua orang yang pertama kali membawa saya ke angkringan di Jogja. Itu sebab ketika di kota lain, angkringan berkembang serupa waralaba yang memberi ruang anak-anak muda nongkrong, saya merasa itu bukan angkringan.

Bukan karena ia tidak dihadirkan dalam pengalaman ruang Jogja. Bukan karena ia tidak menjajakan menu sederhana yang murah. 

Tapi karena di angkringan semacam itu saya tidak melihat nasib yang lelah, yang datang untuk makan nasi kucing, gorengan tempe dan cabe hijau serta teh hangat. Kemudian ngobrol atau sekadar membakar kretek dan menelan asapnya dalam-dalam, berat. Kemudian berlalu lagi.

Sepotong Hati di Angkringan membawa saya tiba di semesta maknawi yang lebih tajam lagi. Angkringan adalah nama sebuah sunyi, tempat kau melerai hati, lebih-lebih saat hatimu disakiti sepi--duhai!

Terakhir, saya ingin menggenapkan duka ini dengan menceritakan sebuah puisi atau semacam itu. Puisi yang sudah diposting di Kompasiana (29/09/2023).

Boleh dikata, puisi ini secara jelas (atau telanjang) merupakan sejenis "usaha mimetik" terhadap gaya Joko Pinurbo. Tentu saja, usaha tersebut masih jauh dari berhasil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun