Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Terima Kasih Joko Pinurbo

27 April 2024   13:16 Diperbarui: 29 April 2024   02:06 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyair Joko Pinurbo berbicara dalam peluncuran buku kumpulan puisinya yang berjudul Epigram 60, Senin (16/5/2022), di Toko Buku Gramedia Sudirman, Yogyakarta. (Foto: KOMPAS/HARIS FIRDAUS)

Hari ini untuk bersedih. Bersedih dengan cara membaca lagi puisi Joko Pinurbo.

Seorang penyair berpulang. Dari proses kreatifnya, puisi-puisi yang mengajarkan saya bagaimana menikmati tragedi, ironi, humor dari hidup sehari-hari jelata diikhtiarkan. 

Puisi-puisinya mungkin tak sangar, tak mengoreksi kekuasaan. 

Dia, barangkali, hanya ingin mengingatkan bahwa perjalanan dan pergulatan nasib manusia, khususnya orang kecil, tidak cukup dimaknai dengan khutbah, apalagi janji politik yang temporer. 

Sembari itu, puisi-puisinya juga mengajak kita bermain-main dengan tubuh/badan, menggenapi nasib. Termasuk dengan celana, sarung, telepon genggam, toilet, hingga ranjang dan angkringan. 

Jadi, ditemani musik Gigi, Padi, dan Sheila On 7, saya memulai meresapi duka ini dengan membaca ulang tulisan Ignas Kleden yang berjudul Puisi: Membaca Kiasan Badan. 

Tulisan yang khusus dibuat untuk mengulas puisi-puisi penyair yang dimuat dalam Di Bawah Kibaran Sarung. 

Saya tidak akan mengungkap apa yang disoroti Ignas Kleden dalam  tulisan yang reflektif itu, yang ditulis dengan kombinasi sudut pandang filsafat hingga ilmu sosial (yang ruwet). Saya hanya akan mengutip pertanyaan sosiolog yang belum lama ini telah pula wafat.

... Pertanyaannya ialah mengapa penyair Joko Pinurbo selalu memandang tubuh manusia dengan nada yang ironis, dengan bitter after-taste, yaitu rasa pahit yang menyusul setelah kita menelan sesuatu? Apakah tubuh manusia tidak menimbulkan pesona apa pun pada penyair ini?...

Tubuh macam apa yang dikonstruksi dalam puisi yang dipertanyakan itu? Sebagai secuil gambaran, mari kita tengok puisi Mampir yang mirip pesan short message service (SMS).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun