Mohon tunggu...
Zuraida Nursyamsiyah
Zuraida Nursyamsiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Ubah Sampah Jadi Energi Listrik dengan Insinerasi, Jawaban Atas Permasalahan Sampah?

24 Maret 2023   10:34 Diperbarui: 24 Maret 2023   11:19 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah Masuk di TPS Super Depo Sutorejo (Dok. pribadi)

Tantangan utama dari proses insinerasi adalah produk residu padatan berupa fly ash and bottom ash (FABA). Meskipun demikian, residu ini dapat diolah menjadi material bernilai pasar seperti bahan baku pembuatan material konstruksi (construction material). Sedangkan emisi gas seperti CO2 dapat ditangkap menggunakan alat khusus dan digunakan dalam industri makanan, manufaktur, dan lain-lain [1]. Pengelolaan sampah yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat adalah pemilahan sampah. Pemilahan sampah secara sederhana dapat dilakukan dengan memilah sampah kering (plastik, karet, dan kertas) dan sampah basah (sisa makanan, kulit buah dan sisa sayur). Pada proses insinerasi sampah yang digunakan berupa sampah kering karena sampah kering memiliki nilai kalor yang tinggi. Proses insinerasi sampah dapat mengurangi volume sampah, menciptakan energi dan sisanya bahkan dapat didaur ulang. Lantas apa yang tidak disukai dari inovasi ini?

Permasalahan yang dihadapi pada pengolahan termal sampah adalah tingginya kadar air pada sampah, yang dapat mencapai 70% massa. Kadar air sampah yang tinggi ini dapat menyebabkan turunnya suhu nyala pembakaran pada insinerator. Kinerja sistem pengolahan termal berupa kecepatan pembakaran, suhu dan komposisi gas buang dipengaruhi oleh beberapa parameter, diantaranya yaitu: komposisi dan sifat fisik sampah seperti kadar air sampah. Salah satu faktor penentu keberhasilan waste to energy adalah proses insinerasi. Namun, mungkinkah 100% sampah yang masuk ke dalam insinerator tergolong sampah yang mudah terbakar? Belum tentu mungkin! Hal tersebut dikarenakan pada sampah kering biasanya masih terdapat campuran sampah basah misalnya plastik yang terkena air atau sisa makanan di dalam kemasan plastik sehingga sampah tersebut tidak 100% kering. Jika demikian, layakkah sampah tersebut masuk ke dalam insinerator? Apabila sampah yang tidak 100% kering tersebut masuk ke dalam tungku pembakaran, maka dibutuhkan bahan bakar tambahan yang membuat proses insinerasi menjadi tidak efisien lagi. Dengan kata lain, jenis dan komposisi sampah memegang kunci cocok tidaknya proses insinerasi. Permasalahan lainnya adalah sebagian besar sampah kering seperti kertas, karton, kardus, botol plastik, dan lain-lain sudah diambil oleh pemulung sehingga seolah-olah insinerator rebutan sampah dengan pemulung. Kecuali pemerintah dengan tega melarang dan menangkap pemulung yang mereduksi sampah di sumbernya. Mungkinkah hal tersebut dilakukan? Bijakkah kebijakan ini diterapkan andaikata terjadi?

Sistem pembakaran insinerasi sendiri juga memiliki kelemahan yaitu kebutuhan energi sebagai pemantik pembakar sampah (burner) yang sangat besar. Proses insinerasi sampah dan konversi sampah menjadi energi listrik harus dilakukan oleh tenaga ahli atau melakukan pelatihan staf untuk mengoperasikannya dengan benar dan diperlukan pengawasan dari pihak yang berwenang. Apabila ingin membangun instalasi pengolahan limbah menjadi energi harus dilengkapi dengan teknologi terbaik dan mutakhir sehingga dalam penerapannya pelaksanaan waste to energy ini memerlukan banyak biaya. Tanpa teknologi mutakhir dan pengawasan, polusi lingkungan dapat mencapai pada tingkat yang berbahaya dan berdampak pada orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Apabila pemerintah membangun fasilitas konversi sampah menjadi energi listrik, namun pada penerapannya tidak ada tenaga ahli yang bisa mengoperasikannya hal tersebut hanya akan menjadi buang-buang uang. Selain itu, pembangunan fasilitas konversi sampah menjadi energi listrik oleh pemerintah juga dapat menjadi sasaran empuk bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan korupsi.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Delaware Solid Waste Authority tahun 1994 menunjukkan pada kadar energi yang dihasilkan dalam jumlah yang sama, metode insinerasi menghasilkan SO2, HCL, CO dan NOx yang lebih besar dibandingkan pembangkit listrik yang berbahan bakar gas alam dan lebih kecil jika dibandingkan dengan pembangkit listrik dengan batubara sebagai sumberdaya [6]. Hal tersebut menunjukkan bahwa insinerasi masih kalah jauh dibandingkan energi alternatiff dari angin, matahari dan nuklir. Energi listrik dari insinerasi sampah dianggap energi terbarukan karena dapat mengalihkan pendanaan dari teknologi pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan sehingga di mana pun dapat dibangun dan dikelola dengan benar insinerasi terkontrol lebih baik daripada tempah pembuangan akhir. Tetapi sejauh ini masih belum menjadi pilihan terbaik untuk menangani sampah berapa banyak pun energi yang dihasilkan.

Berdasar piramida pengelolaan sampah yang terdiri dari enam tingkatan, tingkat paling bawah merupakan pembakaran atau penimbunan sampah secara terbuka yang merupakan cara terburuk dalam mengelola sampah, di atasnya adalah disposal atau pembuangan (pembakaran atau penimbunan) tanpa pemulihan energi, selanjutnya adalah pengolahan limbah menjadi energi (waste to energy), kemudian daur ulang (recycling), lalu penggunaan kembali (re-using), dan yang paling atas adalah pencegahan dan pengurangan sampah. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat pengelolaan sampah yang masih lebih baik dibandingkan pengolahan limbah menjadi energi (waste to energy), yaitu daur ulang sampah, penggunaan kembali sampah dan pengurangan penggunaan sampah sehingga akan leboh baik apabila sampah tersebut didaur ulang atau digunakan kembali daripada diubah menjadi energi. Namun, apakah semua sampah bisa didaur ulang dan digunakan kembali? Apakah pengelolaan tersebut lebih cepat mengurangi sampah dibandingkan metode pembakaran sampah untuk dijadikan energi listrik? Hal tersebut menjadi ambigu dan menimbulkan keraguan bagi masyarakat.

Sementara itu, pencegahan dan pengurangan sampah merupakan cara pengelolaan sampah yang sangat sulit untuk dapat dilakukan padahal pengelolaan sampah terbaik adalah dari sumbernya dimana sumber penghasil sampah mengurangi sampah yang akan mereka hasilkan. Oleh karena itu, waste to energy dipandang sebagai solusi dalam menangani permasalahan sampah yang ada karena selain mengurangi timbulan sampah juga dapat menghasilkan energi. Sebelum melakukan pembangunan fasilitas pengolahan limbah menjadi energi listrik diperlukan gambaran yang cermat karena hal tersebut merupakan suatu investasi yang sangat besar, selain investasi yang sangat besar, biaya pengoperasian dan perawatannya pun juga tinggi. Pengolahan limbah menjadi energi dapat berhasil, akan tetapi diperlukan sistem pengumpulan sampah dan pengaturan lingkungan yang ketat yang pada kenyataannya hal tersebut sangat sulit untuk dicapai. Pembuatan regulasi yang berpihak pada masyarakat merupakan hal penting dilakukan. Untuk menjamin kelangsungan pengelolaan sampah, maka pemerintah dengan tegas membuat aturan dan peraturan terkait dengan pengumpulan, pemilahan, dan terutama terhadap pelanggar aturan pengelolaan sampah. Regulasi yang resmi akan menjamin pengelolaan sampah bersama masyarakat dengan baik.

Daftar Pustaka

[1]    J. P. Simanjuntak, R. A. M. Napitupulu, and P. Lumbangaol, “Rancangan Fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Sampah: Studi Kasus di Kota Medan Sumatera Utara,” J. Mech. Eng., vol. 3, no. 2, pp. 84–93, 2022, [Online]. Available: https://jurnal.uhn.ac.id/index.php/mechanical/article/view/636.

[2]    J. Wahyudi, “Emisi Gas Rumah Kaca (Grk) Dari Pembakaran Terbuka Sampah Rumah Tangga Menggunakan Model Ipcc,” J. Litbang Media Inf. Penelitian, Pengemb. dan IPTEK, vol. 15, no. 1, pp. 65–76, 2019, doi: 10.33658/jl.v15i1.132.

[3]    A. J. Rudend and J. Hermana, “Kajian Pembakaran Sampah Plastik Jenis Polipropilena (PP) Menggunakan Insinerator,” J. Tek. ITS, vol. 9, no. 2, 2021, doi: 10.12962/j23373539.v9i2.55410.

[4]    D. Ardiatma and Surito, “Analisis Pengujian Sisa Klor di Jaringan Distribusi Kiji WTPI PT. Jababeka Infrastruktur Cikarang Menggunakan Metode Kolorimetri,” J. Teknol. dan Pengelolaan Lingkung., vol. 6, no. 1, pp. 1–7, 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun