Permasalahan sampah di Indonesia bahkan di seluruh dunia memang tidak pernah ada habisnya. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah di Indonesia juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2008, dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Dalam Undang-Undang tersebut pengelolaan sampah didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah sampah yang semakin meningkat setiap harinya. Jumlah timbulan sampah di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini terjadi karena pertumbuhan ekomoni, perubahan pola konsumsi dan peningkatan populasi.
Pertumbuhan ekonomi ibarat pisau bermata dua karena selain mendatangkan manfaat pertumbuhan ekonomi juga memberikan kerugian. Salah satu kerugian dari pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya jumlah limbah dari produksi suatu produk. Selain itu, tingginya ekspor-impor produk dan terciptanya kemudahan dalam melakukan transaksi jual-beli, misalnya jual-beli secara online menjadi faktor pendukung terciptanya perilaku konsumtif dari manusia. Perilaku konsumtif membuat manusia sering membeli tanpa memperhatikan penggunaannya, misalnya ketika ada barang yang terlihat menarik ia akan membelinya padahal ia tidak membutuhkannya dan hanya akan menggunakannya beberapa kali atau bahkan tidak menggunakannya sama sekali sehingga tercipta penimbunan barang yang kemudian akan berakhir di tempat sampah.
Peningkatan populasi menyebabkan peningkatan akan kebutuhan kehidupan sehari-hari sehingga sampah yang dihasilkan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi. Dalam menangani masalah peningkatan timbulan sampah diperlukan penanganan dan pengolahan sampah sehingga dapat mengurangi timbulan sampah dan mencegah bahaya pencemaran lingkungan akibat timbulan sampah. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi pengurangan sumber sampah (source reduction) dan bila memungkinkan melakukan eliminasi terhadap sumber sampah; penggunaan kembali (reuse); melakukan daur ulang (recycling), melakukan pemusnahan dengan cara termokimia (thermochemical) seperti gasifikasi, pirolisis, dan incineration; melakukan material recovery dan composting; membuat landfill; dan melakukan pembuangan sebagai (open dumping) [1].
Pembakaran sampah terbuka diartikan sebagai pembakaran berbagai jenis sampah tanpa ada pemilahan sampah dan tanpa pengendalian suplai udara sehingga pembakaran berjalan tidak secara efektif dan menghasilkan asap dan emisi lainnya secara tidak terkendali. Pembakaran sampah terbuka (open burning) menjadi salah satu pengelolaan sampah yang masih banyak dilakukan di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia terutama di wilayah pedesaan karena dianggap efektif untuk menghilangkan timbulan sampah dan bakteri patogen sehingga mereka dapat membuang sampah sebanyak dan secepat mungkin. Padahal pada kenyataannya pembakaran sampah terbuka dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan manusia.
Pembakaran sampah terbuka akan menghasilkan karbon hitam tingkat tinggi yang memiliki efek pemanasan global yang sangat kuat. Senyawa-senyawa berbahaya yang dihasilkan dari pembakaran terbuka meliputi CO, CO2, CH4, NOx, SO2, senyawa volatile organic compound (VOC), dan Particulate Matter. Gas CH4, CO2 dan N2O dikategorikan sebagai gas-gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global, sedangkan material-material lainnya dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan dalam jangka pendek maupun jangka panjang [2]. Metode pembakaran sampah terbuka dipilih masyarakat desa dikarenakan layanan pengangkutan sampah yang biasanya tidak menjangkau pedesaan dan rasa enggan untuk mengangkut sampahnya sendiri. Meskipun demikian, wilayah yang layanan pengangkutan sampah pun tidak semuanya juga melakukan pengolahan sampah sehingga sampah yang diangkut tidak dipilah sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan tempat pembuangan akhir menjadi cepat penuh. Keadaan tersebut membuktikan bahwa Indonesia belum memiliki pelayanan publik rata dan pengelolaan sampah yang baik.
Sampah kering memiliki nilai kalor yang tinggi, dimana semakin tinggi nilai kalor sampah, maka akan semakin mudah proses pembakaran sampah berlangsung. Persyaratan nilai kalor sampah agar dapat dibakar adalah 4500 kJ/kg sampah. Pembakaran sampah menjadi salah satu alternatif pengelolaan sampah karena kemampuannya dalam mengeliminasi sampah dalam jumlah yang besar dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun demikian, pembakaran tersebut harus dilakukan secara terkontrol dengan alat dan metode khusus. Metode pembakaran sampah tidak hanya diterapkan di negara berkembang, namun juga di negara maju dengan tujuan dan penggunaan teknologi yang berbeda.
Teknologi pemanfaatan sampah menjadi energy listrik yang ramah lingkungan sudah banyak dilakukan di negara maju di Eropa seperti Norwegia, Swedia, Jerman, Swiss, Inggris. Sedangkan di Asia termasuk Jepang, Korea Selatan, Singapore, dan Taiwan. Teknologi yang digunakan seperti incineration, pyrolysis, gasifikasi, landfill, dan lainnya [1]. Swedia merupakan salah satu negara yang sukses menerapkan konsep pengelolaan sampah secara efektif. Swedia menerapkan pant system berupa penghargaan dalam bentuk uang kepada masyarakat yang menyerahkan botol atau kaleng bekasnya ke bank sampah sehingga masyarakat Swedia menjadi aktif memilah sampah mereka sebelum dibuang ke tempat sampah. Lebih dari 50% sampah di Swedia dibakar dengan temperatur tinggi untuk menghasilkan energi listrik dan panas, sementara abu hasil pembakarannya juga dimanfaatkan untuk bahan konstruksi jalan.
Pembakaran sampah secara terbuka memang merupakan masalah yang serius, namun apabila dilakukan secara berbeda dapat mendatangkan keuntungan, misalnya dengan pembakaran sampah terkontrol alias insinerasi. Insinerasi adalah metode pembakaran secara langsung dengan suhu tinggi dan menggunakan udara sebagai oksidator yang dapat mengubah limbah padat menjadi materi gas dan abu (bottom ash dan fly ash). Insinerasi digunakan karena adanya keterbatasan lahan pada tempat pembuangan akhir. Sistem insinerasi itu sendiri sangat efektif dalam mengurangi volume sampah sebesar 90% lebih dengan waktu yang relatif singkat, serta dapat mendetoksifikasi bahan patogen hingga 100% sehingga dengan insinerasi dapat mengurangi penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (landfill). Selain itu, sistem insinerasi memiliki panas hasil pembakaran yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi [3]. Pengolahan sampah dengan insinerasi dapat mengurangi volume dan massa serta mengurangi sifat berbahaya dari sampah infeksius. Metode pembakaran sampah dengan insinerasi juga dapat mengkonversi sampah. Temperatur pembakaran dan waktu pembakaran sampah menjadi faktor penting dalam proses insinerasi sampah. Alat pembakar yang digunakan disebut dengan insinerator yang dalam pengoperasiannya pembakaran yang berlangsung dapat menghasilkan temperatur sebesar 815℃ hingga 1095℃ [4]. Komponen dalam fasilitas insinerator antara lain:
- Fasilitas pengumpan dan perlengkapannya
- Fasilitas ini berperan penting dalam kelangsungan operasional unit dikarenakan pengecekan kondisi yang dipersyaratkan dalam desain insinerator dapat memengaruhi hasil akhir pembakaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilahan sampah dan analisisa komposisi sampah sehingga nilai kalor sampah yang akan dibakar sesuai dengan ketentuan.
- Ruang bakar insinerator
- Ruang bakar digunakan sebagai ruang untuk proses konversi panas gas pembakaran ke pipa air dimana panas gas pada pipa membangkitkan uap yang nantinya akan membangkitkan listrik melalui konversi ke turbin dan generator.
- Pendinginan gas
- Unit penukar panas (fin fan/ heat exchanger) diperlukan untuk menyerap panas dari gas yang keluar.
- Pengendali gas buang
- Pencemaran lingkungan akibat gas buang yang dihasilkan dari sisa pembakaran sampah dan partikel abu dari pembakaran sampah dapat diatasi dengan melengkapi insinerator dengan peralatan pengumpul abu (dust collector) dan peralatan pereduksi nitrogen oksida atau sulfur oksida.
- Pembangkit daya
- Pembangkit daya dilengkapi dengan turbin dan generator beserta instalasinya (konversi energi uap). Uap panas yang dihasilkan dari pembakaran sampah akan dimanfaatkan memutar turbin. Kemudian turbin akan menggerakkan generator untuk menghasilkan listrik. Uap yang melewati turbin disalurkan ke boiler lagi untuk dipanaskan. Siklus tersebut selanjutnya diulang sampai tercukupi kebutuhan listrik yang ada. Besar daya yang dibangkitkan bergantung pada jumlah sampah yang memiliki kandungan bahan mudah bakar seperti serat, kertas atau limbah biomassa.
Proses konversi termokimia dengan teknologi insinerasi dikenal juga dengan istilah “pembakaran massa” dimana proses pembakaran bertujuan untuk menghasilkan panas yang terdapat pada aliran gas buang (flue gas) yang kemudian akan diubah menjadi uap air yang memiliki suhu dan tekanan yang tinggi yang digunakan untuk menggerakkan steam turbin generator untuk menghasilkan listrik [5].