Oleh Zyahwa Aprilia -Â Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Dengan fakta tersebut, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri halalnya.Â
Dengan lebih dari 270 juta penduduk dimana mayoritas di antaranya adalah muslim, Indonesia memiliki pasar konsumen yang besar untuk produk dan layanan halal.Â
Hal ini mencakup segmen makanan, minuman, kosmetik, farmasi, mode, pariwisata, keuangan dan masih banyak lagi. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis untuk mengembangkan industri halal, termasuk dengan pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH).
Langkah ini bertujuan untuk memperkuat sistem sertifikasi halal dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk halal. Hal lain yang mendukung adalah adanya upaya untuk pengembangan infrastruktur yang menyokong industri halal, termasuk pendirian pusat riset dan pengembangan, inkubator bisnis halal, dan promosi ekspor produk halal. Industri halal di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Tak terkecuali dalam bidang finance atau keuangan.
Pada era modern ini, penggunaan teknologi telah merata di berbagai sektor kehidupan, termasuk pada sektor ekonomi industri halal. Financial Technology (FinTech) syariah adalah contoh nyata pemanfaatan teknologi dalam bidang tersebut. FinTech syariah menggabungkan layanan keuangan dengan teknologi yang mengubah model bisnis dari tradisional menjadi modern berdasarkan prinsip ekonomi Islam.Â
Sebelumnya, pembayaran harus dilakukan secara langsung dan menggunakan uang tunai, tetapi berkat adanya FinTech syariah di Indonesia, masyarakat dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan pembayaran yang dapat diselesaikan dalam hitungan detik plus tidak perlu mengkhawatirkan kehalalan transaksinya. FinTech syariah memiliki dampak besar pada pelaku Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM) yang sebelumnya ingin menjalankan sistem keuangan bisnis mereka dengan mudah dan efisien. FinTech syariah, khususnya sistem peer-to-peer lending, menjadi solusi bagi UMKM yang sulit dijangkau oleh lembaga keuangan formal yang kemudian berpotensi meningkatkan kapasitas dan pertumbuhan UMKM secara keseluruhan.Â
Penggunaan FinTech syariah selaras dengan rencana ekonomi syariah Indonesia (2019-2024), terdapat empat strategi utama yang direncanakan. Strategi-strategi ini meliputi penguatan rantai nilai Halal, sektor keuangan syariah, UMKM, dan ekonomi digital. Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan industri FinTech syariah, yang diharapkan dapat meningkatkan inklusivitas keuangan bagi UMKM di Indonesia sekaligus meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi negara, yang juga dapat mengatasi berbagai masalah serius di Indonesia seperti ketenagakerjaan dan investasi.
Keberadaan FinTech syariah yang berkembang di berbagai sektor di Indonesia telah mempermudah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam menjalankan operasional mereka. Ini mencakup berbagai aspek seperti akses ke pembiayaan, perluasan pasar, penyederhanaan sistem pembayaran, dan kemudahan dalam menyusun laporan keuangan. Keunggulan yang ditawarkan oleh industri FinTech syariah ini ada pada fleksibilitas, tingkat keamanan yang lebih baik, efisiensi, dan peluang yang lebih menjanjikan dibandingkan dengan layanan keuangan konvensional. Dengan berbagai fasilitas operasional yang diberikan oleh FinTech, UMKM yang merupakan motor pertumbuhan ekonomi baru dapat lebih fokus pada pengembangan bisnis mereka. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan daya saing UMKM dalam skala ekonomi nasional maupun internasional.
Namun, tetap ada tantangan yang harus dihadapi dalam perkembangan FinTech syariah di Indonesia. Salah satu tantangannya adalah ketidakmerataan kesiapan masing-masing daerah di Indonesia untuk mengunakaan layanan FinTech syariah. Misalnya, beberapa daerah masih menghadapi keterbatasan dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung seperti akses jaringan internet dan listrik. Dalam hal ini, harus segera dilakukan pemerataan sarana prasarana penunjang UMKM di daerah pelosok.
Di sisi lain, besarnya jumlah penduduk muslim Indonesia juga menjadi tantangan yang dihadapi dalam konteks tingkat literasi digital penduduk Indonesia masih relatif rendah. Data dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2019 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan hanya mencapai 38,03%. Muncul kebutuhan baru, pemerintah disarankan memasukkan kurikulum ekonomi digital ke dalam sistem pendidikan. Langkah ini akan mendukung persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia agar lebih siap menghadapi tantangan dalam bidang ekonomi digital. Dengan memahami konsep dan praktik ekonomi digital, masyarakat akan lebih mampu memanfaatkan potensi dan peluang yang ditawarkan oleh teknologi digital dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk FinTech syariah.
Masih ada beberapa tantangan lain terkait regulasi yang perlu diatasi. Salah satu masalah adalah bahwa regulasi pemerintah belum sepenuhnya dapat mengakomodasi pertumbuhan pesat dari startup digital. Perkembangan yang cepat ini dapat mengakibatkan peraturan yang ada menjadi tidak relevan atau tidak efektif dalam mengatur lingkungan bisnis digital yang terus berkembang. Dalam hal ini, pemerintah perlu lebih agile menghadapi kondisi perekonomian Indonesia
Tentunya, diperlukan adanya elaborasi dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk mengefektifkan sistem FinTech syariah pada pengembangan UMKM. Diperlukan peran aktif dari pemerintah, pelaku UMKM, sampai dengan masyarakat untuk memaksimalkan potensi Financial Technology syariah di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H