"Ga selalu ditemani Mama, kalau memang Mama lagi ga sibuk ama kateringnya aja koq" imbuh Jiwa.
"Berapa kali dalam sebulan ke dokternya?" tanya Raga.
"Sekarang sih 2 minggu sekali karena diselingi sama cek ke laboratorium. Aku ga kuat dinginnya itu klo di RS ama klo ke Lab, ampun." lalu Jiwa pun menutup percakapan kami itu dengan segera membereskan tasnya karena taksi yang dipesannya sudah sampai.
"Aku cabut dulu ya, masih mau cari buku dan meeting bulanan katering Mama." Jiwa melambaikan tangannya kepadaku dan aku hanya tersenyum tipis dan tetap menatapnya sampai dia hilang dari pandanganku.
Aku mulai bertanya-tanya, apakah penyakit yang diidapnya sesulit itukah mendeteksinya? Atau mungkin dokter hanya perlu memastikan untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi? Seperti penyakit kronis yang berbahaya hingga mengancam nyawa? Apakah kanker?
"Jiwa, kita ga jadi nonton nih? sadar Raga seketika setengah teriak.
Jiwa hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum dan tentu saja artinya tidak.
Pikiran buruk mulai menghantuiku tapi segera kutepis karena ada tepukan dipundak.
"Oi Ga, ngelamun lo? Nih kita jam session sejam lagi. Udah kelar belum disini? Yok cabut bareng gw. Eh, mobil lo taruh diparkiran sebelah mana?"
Diko dengan segala pertanyaannya segera menyadarkanku, entah mengapa dia tiba-tiba ada disini.
"Udah kelar lo? Buruan, ntar telat kita. Diamuk ntar sama Hary."