Minggu pagi 10 Juni 2012 sekitar pukul 07:30 di depan sebuah toko retail ketika saya dan beberapa teman dari Komunitas Napak Tilas peninggalan Budaya (NTPB) sedang menunggu teman-teman lain, tiba-tiba handphone saya berbunyi, lalu di seberang sana terdengar suara seorang wanita langsung bertanya dengan sok akrabnya, “Alfamart teh di sebelah mana? Sebelum Indomaret apa Al Amin?” Tanpa menanyakan siapa si empunya suara, saya dengan gaya tak kalah sok akrab menerangkan di mana letak toko yang kami pakai sebagai meeting point. Setelah beberapa saat muncullah sesosok wanita berkerudung putih beserta suaminya menebarkan pesona lewat senyumnya yang merekah. Dialah Ibu Guru Herni yang berjanji akan membawa “sesajen” berupa pepes ikan di acara ini. Sebelumnya saya kenal Ibu Herni dan teman-teman lainnya selama ini hanya di dunia maya lewat grup Komunitas NTPB Facebook.
Setelah teman-teman dari Jakarta tiba dengan selamat, kami mencari angkot yang bisa mengantarkan kami menuju TKP. Kepada sopir angkot saya mewanti-wanti untuk menurunkan kami di Prasasti Batu Tulis Ciaruteun. Sang sopir menyanggupi dengan syarat kami membayar ongkos untuk setiap penumpang Rp 7000 untuk satu kali jalan. Tepat 15 menit lewat dari waktu kumpul yang disepakati, perjalanan pun dimulai. Syukurlah kami berangkat masih pagi sehingga tidak terjebak macet. Pagi itu perjalanan hanya memakan waktu sekitar 45 menit dari pertigaan lampu merah Laladon menuju Kampung Muara.
Tiba di Kampung Muara saya merasa kembali ke masa ketika saya masih SD. Waktu masih duduk di bangku sekolah dasar saya pernah hafal pelajaran sejarah tentang Kerajaan Tarumanegara yang berdiri pada abad ke-4 dengan raja terkenalnya bernama Raja Purnawarman. Saya juga pernah hafal 7 prasasti peninggalan kerajaan ini, yaitu Prasasti atau disebut juga Inskripsi (Inscription dalam bahasa Inggris) Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianten, Pasir Awi, Cidanghiyang dan Tugu. Tiga dari prasasti tersebut, yaitu Prasasti Ciaruteun, Kebonkopi I dan Muara Cianten terletak di kawasan Situs Kampung Muara yang terletak di di Desa Ciaruteun Hilir, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Jawa Barat. Situs ini diapit oleh aliran-aliran sungai Cisadane di sebelah utara dan timur dan anak-anak sungainya yaitu Cianten di sebelah barat, dan Ciaruteun di sebelah timur dan selatan. Ketiga prasasti ini ditulis pada masa pemerintahan Raja Tarumanegara yang menurut naskah Wangsakerta merupakan rajaTarumanegara yang ketiga. Di Situs Kampung Muara ditemukan pula sejumlah peninggalan yang bercirikan tradisi budaya megalitik berupa menhir, batu dakon, arca-arca batu, punden dengan susunan batu besar.
Prasasti Kebon Kopi I
Karena lokasi berkumpul kami berada di Prasasti Kebon Kopi I maka “kuliah lapangan” pun dimulai dari prasasti yang juga disebut Prasasti Tapak Gajah ini. Menurut Mang Hasan, panggilan akrab narasumber kami Bapak Prof. DR. Hasan Djafar, dosen arkeologi senior Universitas Indonesia, Prasasti Kebon Kopi I merupakan in situ,maksudnya hingga kini masih berada di tempatnya semula. Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara sekitar awal tahun 1860-an, yaitu ketika diadakan pembukaan hutan di Pasir Muara untuk perluasan lahan perkebunan kopi di daerah itu. Prasasti ini ditulis dengan aksara Palawa dan bahasa Sanskerta dan diapit oleh sepasang gambar telapak kaki gajah. Hasil transliterasi tulisan di prasasti ini yang diterbitkan adalah hasil pembacaan J.Ph. Vogel yang berbunyi: “Di sini tampak sepasang tapak kaki ........... yang seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Tārumā (yang) agung dalam .......... dan (?) kejayaan.”
Melihat tapak gajah di prasasti ini, ada dari kami yang bertanya-tanya apakah tapak itu merupakan tapak asli seekor gajah, mengingat cerita yang pernah kami dengar tentang kesaktian makhluk jaman dahulu. Dengan “kesaktian” tersebut apakah gajah tersebut bisa melunakkan batu yang keras sehingga terbentuklah tapaknya? Tapi menurut penjelasan dari narasumber, tentu saja tapak itu hasil pahatan. Ada pula dari kami yang bertanya apakah ada gajah saat itu di sekitar Bogor. Beragam pertanyaan ditanyakan pula oleh para peserta karena memang saat kami belajar sejarah di sekolah, materi pelajaran hanya untuk dihafal. Kami tidak pernah bisa membayangkan dan memperluas wawasan kami selain dari media dua dimensi berupa buku. Maka saat “kuliah lapangan” ini, dengan gaya sersan, kami mencoba menggali ilmu dari narasumber dan berada di TKP.
Menurut narasumber, sebenarnya di sekitar Prasasti Kebon Kopi I terdapat Prasasti Kebonkopi II yang ditemukan pada tahun 1918. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu dalam empat baris tulisan beraksara tipe Palawa Akhir atau Pasca-Palawa dan berbahasa Malayu Kuno. Isinya berkenaan dengan pemulihan kekuasaan Raja Sunda. Namun sayang prasasti ini telah hilang. Untunglah Dinas Purbakala Belanda pernah membuat dokumentasi prasasti ini berupa foto, sehingga menjadi bukti satu-satunya yang menyatakan bahwa prasasti ini pernah ada.
Prasasti Muara Cianten
Untuk mencapai Prasasti ini kami harus menyusuri jalan setepak dengan pemandangan berupa kebun singkong. Berjalan kaki saat cuaca panas dengan kostum komunitas yang berwarna hitam yang untuk pertama kali kami pakai ternyata cukup ampuh memeras keringat kami sehingga membantu kami dalam mengurangi berat badan, terutama para peserta napak tilas yang jarang berolahraga. Namun ternyata tidak sia-sia keringat membasahi kostum baru kami karena semua itu terbayar dengan suasana teduh Muara Cianten di mana terdapat Prasasti Muara Cianten atau dulu disebut dengan Prasasti Pasir Muara.
Prasasti yang masih in situ ini ditemukan pada tahun 1864, dipahat pada sebuah batu besar dan ditulis dengan aksara ikal yang hingga kini masih belum bisa dibaca.
Prasasti Ciaruteun
Dari Prasasti Muara Cianten, kami kembali menelusuri jalan setapak untuk menuju Prasasti Ciaruteun. Prasasti ini awalnya berada di tepi Sungai Ciaruteun tidak jauh dari muaranya, ditemukan pada tahun 1863, pernah hanyut dan sering terendam banjir. Karena takut rusak, maka pada tahun 1981 prasasti ini dipindahkan ke atas, ke tempat yang ditempatinya hingga sekarang.
Prasasti Ciaruteun sebenarnya terdiri dari dua prasasti, yaitu Ciaruteun A dan B. Ciaruteun A terdiri dari empat baris tulisan Palawa dan berbahasa Sanskerta, berbunyi: “Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisu, ialah (telapak kaki Yang Mulia Pūrṇṇawarman, raja di negara Tārumā, raja yang gagah berani di dunia”.
Prasasti Ciaruteun B walaupun hanya terdiri dari satu baris tulisan hingga kini masih belum bisa dibaca secara tuntas karena ditulis dalam aksara yang sama dengan Prasasti Muara Cianten, yaitu aksara Ikal.
Di halaman dekat cungkup (atap) Prasasti Ciaruteun, Ibu Guru Herni yang sangat paham dengan wajah-wajah kelaparan akhirnya mengeluarkan “sesajennya” berupa pepes ikan mas. Ternyata sambal terasi buatan saya dan lalab daun singkong rebus bisa diterima dengan penuh suka cita oleh teman-teman sehingga pepes ikan dan nasi seupil menjadi terasa lebih nikmat. Saya setuju membaca kesan seorang teman pendatang baru di acara napak tilas ini yang merasa acara ini seperti acara rekreasi sambil berolahraga dan mencari ilmu: sport, fun, sience.
Semoga acara ini bermanfaat bagi kita semua dan sampai jumpa di acara Napak Tilas selanjutnya.
[caption id="attachment_183738" align="aligncenter" width="596" caption="Wilayah Tarumanegara, Wikipedia"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H