Mohon tunggu...
Zuraini Basyar
Zuraini Basyar Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

menulis untuk berbagi info dan pengalaman.\r\n\r\nmenulis juga di zurainibasyar.wordpress.com.\r\n\r\ntwitter: @zuraini_basyar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inikah yang Terjadi pada Keluarga-Keluarga di Indonesia?

6 Januari 2017   23:52 Diperbarui: 7 Januari 2017   00:51 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kekerasan pada perempuan dan anak bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Menurut data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015 dalam satu hari terdapat 881 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kalau interval waktunya kita perpendek lagi, dalam satu jam terjadi sekitar 37 kasus kekerasan. Sebuah angka yang luar biasa besar dan luar biasa miris bukan?

Sementara itu, berdasarkan catatan KPAI, kasus kekerasan pada anak pada tahun yang sama terdapat sebanyak 1.698 kasus, dengan lebih dari separuhnya adalah kasus kekerasan seksual. Ini baru kasus yang dilaporkan kepada KPAI, sementara yang tidak dilaporkan diduga cukup banyak.

Menyikapi banyaknya kasus kekerasan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPPA) telah menginisiasi Gerakan Three Ends KPPPA yang salah satu tujuannya adalah mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, sementara dua tujuan lainnya adalah mengakhiri perdagangan orang serta ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan. Pemerintah tidak mungkin bergerak sendiri, tentunya perlu dukungan dari masyarakat untuk terlibat aktif dalam gerakan ini.

Namun, kekerasan terhadap perempuan dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Siapa saja bisa jadi pelakunya, bisa keluarga, guru atau rekan kerja. Waktunya mungkin siang hari atau malam hari, tempatnya pun bisa di rumah, sekolah, pasar dan lain-lain. Dampaknya kepada korban pun sangat mengerikan, tidak hanya menimbulkan trauma psikis dan luka fisik bahkan menyebabkan kehilangan nyawa.

Lalu, bagaimana memulai gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak ini? Mari kita cermati terlebih dahulu siapa pelaku utama kekerasan ini. Mungkin kita sering membaca artikel yang menyebutkan bahwa kekerasan pada perempuan dan anak ternyata kerap dilakukan oleh orang-orang dekat atau orang-orang yang dikenal oleh korban. Nah, sebuah survei yang mencoba memotret fenomena tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak mengungkap fakta miris tersebut. Temuan survei dengan ruang lingkup nasional yang dilaksanakan hampir sembilan tahun lalu ini, adalah bahwa dari seluruh perempuan korban kekerasan, lebih dari setengahnya (53,3 persen) adalah korban tindak kekerasan suami (BPS-Kemeneg PP, 2006).  Fakta ini diperkuat lagi oleh catatan oleh Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre tahun 2011,  dari jumlah layanan pengaduan dan bantuan diberikan kepada perempuan korban kekerasan, pelaku terbanyak adalah suami korban (75,60%).

Sementara itu, mayoritas pelaku kekerasan terhadap anak adalah ibunya sendiri. Ini adalah temuan survei yang dilakukan Pusat Studi Gender dan Anak Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada tahun 2013. Salah satu fakta yang diungkap oleh survei ini, adalah pelaku kekerasan psikis terhadap anak, sekitar 34 persen adalah ibu dengan bentuk kekerasan membentak, menghina kemampuan anak, mengejek dan lainnya.

Ya, mayoritas pelaku kekerasan terhadap perempuan justru adalah orang terdekatnya, suaminya sendiri. Orang yang semestinya menyayangi dan melindungi si perempuan.  Sealnjutnya, ironis sekali, mayoritas pelaku kekerasan terhadap anak justru sang ibu. Seseorang yang pada awal kelahiran anaknya telah berjuang antara hidup dan mati agar anaknya lahir dengan selamat.

Menyedihkan memang, bila ini menjadi potret keluarga di Indonesia. Suami yang memukuli istri. Ibu yang memukuli buah hatinya.

Terlepas dari masalah yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan, yang menurut salah satu penelitian terjadi karena berbagai faktor di antaranya kesulitan ekonomi, kecemburuan pasangan, dan perilaku buruk pasangan (berjudi, minum minuman keras), tampaknya membentuk mindset masyarakat, khususnya para suami dan para ibu, agar tidak menjadi pelaku kekerasan menjadi hal yang sangat krusial untuk mencegah terjadinya kekerasan.

Pencerahan kepada keluarga-keluarga di Indonesia tentang bagaimana menjadi keluarga yang sayang ibu dan anak, saya kira, inilah yang menjadi prioritas. Pencerahan ini bisa dilakukan oleh ustadz pada saat khutbah Jum’at misalnya, disampaikan oleh pendeta pada misa, disampaikan oleh tokoh agama lainnya atau tokoh masyarakat. Rekan-rekan blogger, mari menulis untuk mendukung gerakan akhiri kekerasan ini.

Bagi mereka yang belum berkeluarga, alangkah baiknya bila mengikuti kursus pra nikah. Bagi pemuda muslim, kursus semacam ini telah diselenggarakan oleh Masjid Salman ITB sejak beberapa tahun yang lalu, yang dinamakan sekolah pra nikah. Para peserta akan dibekali pengetahuan seputar materi ta’aruf, motivasi menikah, mengenal karakter diri dan pasangan, seks dan kesehatan alat reproduksi, fiqih thaharah, manajemen keuangan, menikah menurut hukum negara dan syari’at Islam, serta gambaran problem yang akan muncul dalam rumah tangga, disertakan beragam solusinya.

Sementara bagi pemuda nasrani, kursus pra nikah tampaknya telah berjalan dengan baik yang diselenggarakan di gereja.

Saya berharap, pada kursus pra nikah juga memasukkan materi pengasuhan yang baik bagi anak. Tidak boleh ada sedikit pun kekerasan pada anak. Satu bentakan pada anak mampu membunuh satu miliar sel otak siap tumbuh. Satu cubitan, pukulan atau jeweran mampu membunuh lebih dari 10 miliar sel otak.

Buat para suami yang muslim, sadarilah bahwa manusia yang terbaik adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya. Ini sesuai dengan hadist Nabi:

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku”  (HR At-Thirmidzi no 3895 dari hadits Aisyah dan Ibnu Majah no 1977 dari hadits Ibnu Abbas dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 285))

Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”. (HR At-Thirmidzi no 1162 dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Majah no 1987 dari hadits Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 284)

Buat para orang tua, mari kita perlakukan anak kita dengan penuh kasih sayang. Bagi umat muslim agar mendidik anak-anaknya sesuai dengan yang dicontohkan teladan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenal sangat menyayangi anak-anak. Sebuah cuplikan kisah Rasul dengan anak-anak semoga menginspirasi kita semua:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqra’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati.” (HR Al-Bukhari no 5997 dan Muslim no 2318)

Mari kita ubah potret keluarga Indonesia mejadi potret keluarga bahagia yang anti kekerasan. Mari mulai dari keluarga kita sendiri.

Referensi:

Fenomena Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, BPS-Kemenag PP, 2006

http://perempuan.or.id/2012/01/03/tahun-2011-statistik-kekerasan-terhadap-perempuan-mitra-perempuan-wcc/

http://daerah.sindonews.com/read/1063249/22/pelaku-kekerasan-terhadap-anak-didominasi-ibu-1448020126

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun