[caption caption="Tim Roadshow B20 sedang melakukan uji ketahanan mobil menggunakan biodiesel 20% di Dataran Tinggi Pegunungan Dieng, Jawa Tengan,Rabu (3/2/2016) pukul 05.00"][/caption]Pemerintah sedang menyosialisasikan Biodiesel 20% (B20) sebagai salah satu bahan bakar alternatif untuk mengimbangi bahan bakar fosil, khususnya solar, yang diprediksi kian terbatas persediaannya di dunia.
Program B20 pun masuk bagian Kebijakan Energi Nasional dibawah Kementrian ESDM khususnya Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE). B20 sendiri adalah campuran biodesel 20% dan solar (B0) 80%.
Serangkaian uji coba mulai dari B5, B10, B15 sudah dilakukan. Program pemanfaatan B20 resmi digariskan mulai Januari 2016. Saat ini sosialisasi pemanfaatan Biodiesel 20% sedang berlangsung dalam bentuk Roadshow menggunakan 15 mobil ke sejumlah kota di Jawa.
Nah, salah satu yang menarik adalah uji ketahanan B20 di udara dingin. Pada hari ke-8 hal itu dilakukan tim Roadshow B20 di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, Rabu (3/2) dini hari. Selama ini ada anggapan bahwa kelemahan bahan bakar biodiesel adalah membeku di udara dingin.
Pengujian sengaja dilakukan pukul 05.00 WIB karena suhu udara saat itu sekitar 15-10 derajat Celcius. Sebanyak sembilan dari 15 kendaraan Tim Roadshow B20 pun dihidupkan.
Menurut Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, Dadan Kusdiana, pengujian dilakukan dini hari untuk membuktikan bahwa B20 tidak mengalami perubahan bentuk, apalagi membeku yang membuat kerusakan pada mesin kendaraan.
Titik kabut B20 (keadaan dimana pada bahan bakar mulai memutih dan berkabut sebelum akhirnya membeku) adalah 0 derajat celcius. Titik kabut B0 (solar murni) adalah minus dua derajat celcius, sedangkan B100 (biodiesel murni) adalah 15 derajat celcius.
Selain untuk membuktikan ketahanan B20 di udara dingin, juga dilakukan uji opesitas atau uji kekentalan asap. Nah, dalam uji yang satu ini justru kendaraan yang menggunakan biodiesel 20 persen memiliki nilai yang lebih baik. Dari kendaraan yang diuji didapat nilai opesitas 5,2%. Angka yang menurut Nanang Hermawan, Engineers Fuel & Gas Research Group Lemigas sangat jauh dibanding angka batasan tertinggi yaitu 70%.
Mobil yang diuji menurutnya merupakan produksi di bawah tahun 2010 sehingga batasan opesitas tertingginya 70 %, namun jika mobil yang di uji merupakan produksi tahun 2010 ke atas batas maksimal menjadi lebih rendah yaitu 40 persen.
Penerapan batasan opesitas dikatakan Nanang tidaklah sembarangan. "Acuan kita untuk uji ini dari KLH (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)," kata di lokasi uji emisi.
Menurut Nanang, perbedaan batasan maksimal nilai opesitas berdasar tahun produksi karena kualitas dan teknologi mesin semakin baik sehingga harus diterapkan nilai opesitas yang lebih rendah.
"Namun bisa saja mobil-mobil keluaran di atas tahun 2010 memiliki nilai opesitas yang tinggi. Hal ini bisa terjadi jika mobil tersebut kurang mendapat perawatan yang baik. Jadi sebenarnya perawatan mesin dengan baik juga harus disosialisasikan karena ikut menentukan nilai opesitas," tegas Nanang.
Perlu diketahui pengujian mesin berbahan baku biodiesel ini dilakukan pada mobil yang tidak bergerak namun dikondisikan dalam keadaan berjalan dan di gas sampai 3000 rpm. Tidak ada asap pekat yang muncul yang biasanya terlihat pada kendaraan berbahan baku solar.
"Ini membuktikan B20 dari segi gas buang cukup baik. Karbon monoksida (CO) yang dihasilkan lebih rendah sehingga lebih ramah lingkungan," ungkap Nanang.
Meski memiliki banyak keunggulan dibanding solar namun sangat penting untuk menjaga pembuatan dan penyimpanan biodiesel. Keduanya menurut Nanang harus dilakukan untuk menjaga mutu.
Lihat aktivitas Tim Roadshow B20 di www.biodiesel20.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H