Jika kita membayangkan perdebatan pemilu yang berlangsung berbulan-bulan, kita yang tidak punya data, akan disuguhkan keributan dan dipertontonkan oleh dua kubu yang selalu bertabrakan. Sexy killers adalah film yang akan menutup masa kampanye dengan cukup waras. Akan tetapi film ini sempat dituduh menggiring masyarakat untuk tak memilih alias menjadi golongan putih (golput) dalam pemiligan pilpres 2019.Â
Tuduhan itu mencuat lantaran film documenter itu telah membeberkan nama-nama pemegang saham dari perusahan-perusahaan tambang dan perusahan yang menggarap proyek pembangkit listrik.
Para pengusaha tersebut terlibat langsung dengan pasangan nomor urut 01 Joko-Widodo Ma'ruf Amin dan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang sedang berkontestasi dalam pilpres 2019. Di film ini juga menjabarkan nama-nama elite partai politik yang menjadi tim kampanye kedua kubu, baik tim kampanye Nasional (TKN) dan Badan Pemenangan Nasional (BPN).
Tuduhan yang muncul itu disebabkan ada banyak kelompok yang belum mengenal  Watchdoc Documentary lebih dalam. Sebuah rumah produksi film documenter yang kritis, investigative dan membberikan banyak perspektiff dalam mengungkap persoalan dari berbagai sudut pandang.
Watchdoc sepanjang tahun 2015 telah melakukan perjalanan 1 tahun keliling Indonesia, mendokumentasikan hal-hal menarik. Perjalanan tersebut diberi nama Ekspedisi Indonesia Biru yang terinspirasi dari gagasan Gunter Pauli terkait ekonomi biru. Pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 "The Blue Economy: 10 Years -- 100 Innovations -- 100 Million Jobs." Hasil garapan Ekspedisi Indonesia Biru ini tidak main-main.
Ada sekitar 50 Seri Film Dokumenter dan saya sangat menikmati film karya Dandhy Dwi Laksono dan Suparta AZ ini bersama mahasiswa di kelas dan bermacam komunitas.
Produser film Sexy Killer, Didit Haryo Wicaksono menampik tuduhan tersebut. Sebaliknya, menurut penggiat lingkungan dari Greenpeace Indonesia itu, film Sexy Killer mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih cerdas. "Jadi kalau respons semacam, film ini mendorong untuk golput. Enggak benar sama sekali. Di film ini sama sekali kita tidak mengajak publik untuk tidak memilih, tapi kita mengajak publik untuk lebih cerdas dalam memilih. Keputusan tetap ada di tangan masyarakat," kata Haryo kepada Suara.com, Senin (15/04/2019).
Bagan itu diharapkan dapat membantu masyarakat memetakan permasalahan yang ada. Selain itu, masyarakat diharapkan sadar bahwa permasalahan ini cukup besar dan membutuhkan kekuatan masyarakat untuk membuat perubahan.
Proses editing film ini bertepatan dengan masa jelang kampanye. Hal ini menjadi momen tersendiri untuk membuka mata masyarakat tentang pilihan-pilihan yang ada.
Haryo juga menyatakan, pembuatan film ini bebas dari unsur politik. Bahkan, Haryo mengatakan selama penggarapan film ini tak sampai mengeluarkan uang. Menurutnya, film ini lahir dari inisiatif Dandhy Dwi Laksono dan tim Watchdoc.
"Jadi di film ini kita sama sekali tidak mengeluarkan uang. Kita tidak membayar Watchdog untuk membuat film itu. Inisiatif film ini lahir dan tumbuh dari Watchdoc sendiri sebenarnya," kata dia.