Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Mbak Pur

5 Oktober 2022   14:07 Diperbarui: 15 Oktober 2022   21:45 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hujan deras. (sumber: AFP via kompas.com)

"Aduh, Mbak! Kok anak-anak dibiarkan main hujan-hujanan, sih. 'Kan sudah kularang mereka keluar rumah? Apa nggak dengar kataku, sih? Harus berapa kali aku ngomong, hah? Nanti kalau masuk angin gimana, coba?" protes Bu Mila padaku dengan nada tinggi, saat melihat Nita dan Fani terlihat di halaman rumah menari-nari  tanpa pakaian selembar pun di tengah hujan yang begitu deras.

Kedua anak itu memang sering dilarang keluar rumah setelah pulang sekolah. Banyak temannya sering mengajak bermain, tetapi aturan di rumah itu diciptakan oleh Bu Mila. 

Fani dan Nita harus tunduk pada aturan ibunya, meskipun sebenarnya terlihat menderita. Anak sebaya usianya dengan bebas bermain di sekitar kampung, sementara keduanya hanya gigit jari memperhatikan teman-temannya lincah bermain.

Siang itu tiba-tiba hujan deras. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat air curahan langit itu mulai menyapa. Tiba-tiba pakaian mereka telah dilepas dan berlari ke halaman dengan gelak tawa yang sangat natural.

Saat pulang kerja, setelah meletakkan jas hujan di samping rumah, perempuan berumur tiga puluh lima tahun itu terlihat geram. 

Mukanya merah menahan amarah, sambil melihat kedua putrinya yang tanpa beban malah tertawa cekikikan mempermainkan air hujan yang membasahi sekujur tubuhnya. Kedua tangannya berkacak pinggang dan pandangannya tajam menatap kedua putrinya tanpa berkedip.

Aku Purwanti, perempuan sederhana saat ini tepat berumur dua puluh tiga tahun. Aku mengabdi pada Bu Mila sudah puluhan tahun, setelah lulus SD, karena faktor ekonomi. 

Bu Mila tipe perempuan perfek. Bukan sekali dua kali mendengar omelannya. Apalagi diriku menjadi asisten rumah tangga di rumah ini sudah lebih dari sepuluh tahun. Jadi,  suara Bu Mila yang alisnya tampak makin terlihat tebal saat marah bukan menjadi momok lagi.

Aku tidak segera menjawab kemarahan perempuan yang bekerja di kantor desa Kahuripan sebagai bendahara. Biarlah sampah-sampahnya semua keluar dulu sampai habis dan puas. Lagi pula jika aku berani menjawab kalimatnya, salah-salah malah tambah marah dan kena semprot.

Aku hanya berlagak diam, meski rasanya ingin segera menjelaskan duduk permasalahannya. Namun, niat itu diurungkan. Aku harus tahu diri. 

Apalah arti seorang asisten rumah tangga yang hanya seorang pelayan, terlahir dari desa, dan pendidikan juga sangat rendah, hanya lulusan SD.  Percuma jika berdebat dengan orang pintar, kaya, serta punya posisi penting di masyarakat.

Kedua anak Bu Mila masih asyik menikmati curahan air dari langit, tanpa mempedulikan kemarahan ibunya. Gelak tawa, sorak gembira, dan kadang jerit keduanya tidak dapat menghalangi niat mereka untuk bermain di halaman rumah yang cukup luas. Beberapa alat bermain pun dibawa untuk menadahkan air hujan.

 Hujan siang ini memang agak beda. Lebih lebat dan air terasa lebih dingin. Bahkan dari berita di media sosial di  beberapa daerah terjadi hujan es, artinya ada bongkahan es meskipun berukuran kecil. Pantas saja udara begitu dingin.

Sebelum Bu Mila melanjutkan kemarahannya pada sesi kedua, aku tahu diri.  Buru-buru mengambil payung dan jas hujan yang tersimpan di kamar belakang. 

Dari dalam rumah, kuayunkan kedua tangan memberi isyarat pada anak-anak agar segera berhenti bermain hujan.  Payung berukuran  agak besar segera kukembangkan untuk menjemput Fani dan Nita.

Kudekati mereka dengan bujuk rayu agar segera menepi. Bibir kedua anak itu sudah membiru, mungkin  mulai kedinginan.

"Ayo segera mandi air hangat. Tuh, Ibu sudah datang, keburu dimarahi nanti."

Kuiringkan kedua anak perempuan itu untuk langsung masuk ke kamar mandi. Handuk tebal dan pakaian sudah kusiapkan.

"Keramas sekalian ya, biar nggak pusing. Nanti habis mandi terus seluruh badan dioles minyak kayu putih. Minum air jahe dan istirahat," kataku sambil meratakan sabun pada  tubuh Fani dan Nita. Untung saja kedua anak itu tidak banyak protes.

Dari dalam kamar depan Bu Mila ternyata belum berhenti mengomel. Mungkin sedang suntuk karena pekerjaan yang menumpuk serta beban pikiran. 

Perempuan bertubuh tinggi dan kekar itu akhir-akhir ini terlihat banyak melamun dan jarang tersenyum, membuatku makin ciut untuk sekadar menyapa. Pak Rian_suami Bu Mila bekerja sebagai pengusaha mebel. Pak Rian sering keluar kota sampai beberapa hari.

Namun, entah ada permasalahan apa, hampir seminggu ini Pak Rian tidak pulang ke rumah, mungkin karena urusan bisnis, atau ada kepentingan lain. Satu yang kutahu, beberapa hari yang lalu, suami istri itu terdengar adu mulut di tengah malam saat anak-anak terlelap dalam mimpi.

Meskipun aku tidak mendengar secara jelas apa yang menjadi bahan pembicaraan itu, tetapi keduanya adu mulut dengan suara yang cukup tinggi, sehingga membuatku terbangun di tengah malam yang sepi. 

Kamarku yang berada di bagian belakang dengan jarak cukup jauh dari pertengkaran mereka, akhirnya angin malam membawa suara itu menyusup dalam kamar. Kebetulan aku terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan.  Setelah kuperhatikan ternyata yang tersedu adalah Bu Mila.

Aku tidak berani mendekat atau menguping pembicaraannya. Bu Mila sesekali terdengar mengaduh kesakitan. Hm ... apakah Bu Mila mendapat perlakuan tidak baik, atau dipukuli? Ah, kok aku jadi kepikiran pada perempuan itu. 

Padahal hampir tiap hari ucapannya menyakitkanku, tetapi pada saat seperti ini aku merasa tidak tega, terlebih pada kedua putrinya, batinku makin mengembara jauh tanpa arah membanyangkan kepedihan hati seorang perempuan.

Dengan langkah sedikit berjingkat  karena takut mengusik Bu Mila dan Pak Rian, aku segera mengambil air wudu, dan salat di kamar. Beberapa saat, isak tangis itu sudah tidak terdengar lagi. Aku mulai bersyukur mungkin kemarahan keduanya mulai mereda.

Namun, tidak lama kemudian, dari arah kamar mereka terdengar suara benda seperti dipukul keras hingga menimbulkan suara seperti letusan. 

Aku pun kaget dibuatnya. Dadaku terasa sesak. Tepat suara itu berbunyi, kedua putri Bu Mila pun terbangun. Mereka mencari ibunya sambil menangis karena ketakutan.

Sempat bingung juga untuk bersikap. Sigap aku berlari mendekati kedua anak itu. Mau tak mau segera kuraih tangan mereka dan digandeng erat menuju kamar. 

Tangan bergetar karena takut dan beribu rasa yang muncul saat berhadapan dengan Bu Mila dan Pak Rian yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

"Yuk, kita tidur lagi di kamar Mbak Purwanti, ya? Nanti kuceritakan dongeng indah tentang raja dan permaisuri yang sedang mengunjungi suatu negeri," bujukku untuk meredam ketakutan mereka.

Kedua anak itu tiduran berimpitan di ranjangku. Dongeng khayalan pun mulai mengalir menghibur mereka. 

Bahu keduanya kuusap pelan, dan tidak berapa lama kedua anak itu pun tertidur kembali. Selimut motif lorek menutup tubuh keduanya. Kasihan,  anak-anak ini, yang sangat butuh kasih sayang.

Saat kulipat mukena, terdengar langkah kaki yang makin  mendekati kamar. Bu Mila masih dengan muka sembab menemuiku. 

Perempuan yang tampak kusut wajahnya dengan terbata-bata mulai berbicara, dan mengajakku keluar kamar. Sesekali kalimatnya terhenti sejenak, mungkin menyiapkan hati yang masih labil.

"Mbak, maafkan aku, jika selama ini sering galak padamu. Mungkin kamu telah mendengar pertengkaran kami. Aku dan Mas Rian sepakat untuk sementara sendiri-sendiri. Banyak yang harus diselesaikan, Mas Rian yang selama ini kupercaya ternyata telah berdusta. Dia punya perempuan lain.

Kembali Bu Mila sesenggukan di depanku. Aku hanya menunduk ikut prihatin atas kondisinya. Rasa sakit hatinya mungkin sudah di ubun-ubun.

"Kamu tidak perlu banyak tahu. Satu yang ingin kusampaikan, Nita dan Fani aku titipkan sementara waktu padamu. Aku belum tahu sampai kapan, mungkin jika sakit hatiku telah sedikit terobati, dan itu tidak mudah. Nanti kebutuhan anak-anak tetap kupikirkan. Jaga anak-anak, katakan pada mereka jika aku sedang ada tugas di luar. Jangan sampai mereka tahu, karena masih anak-anak, kasihan psikologisnya."

"Ya, Bu. Anak-anak pasti akan kujaga. Semoga Ibu diberikan kekuatan lahir dan batin menerima cobaan ini," kataku menguatkan hati perempuan yang terlihat sangat berduka.

"Mbak, bantu aku mengemasi beberapa pakaian, besok pagi akan segera pergi dari rumah ini,  untuk sementara mencari ketenangan hati."

Tanpa dikomando, aku segera mengikuti langkahnya, tetapi dalam hati juga merasa bingung harus berbuat apa untuk menghibur Fani dan Nita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun