Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Impian

5 April 2021   09:18 Diperbarui: 5 April 2021   09:37 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu setelah pernikahan Rani dan Doni, keduanya tetap tinggal bersama bapak mertua yang sudah tua. Mertuanya seorang kuli pasar yang dulu sewaktu muda biasa memanggul barang berat sehingga ketika tua, punggungnya agak bungkuk karena banyak menahan beban.

Kini Pak Kliwon, bapak Doni tinggal di rumah sendirian. Istrinya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu karena sakit.

Rani memang bukan tipe perempuan yang manja, bahkan dari kecil sudah terbiasa hidup susah. Dia pekerja keras, hampir semua waktunya habis untuk bekerja. Setelah sampai di rumah dalam kondisi yang cukup lelah.

Pernikahannya dengan Doni memulai kehidupan dari nol. Betul-betul nol, belum memiliki apa pun. Kini mereka tinggal bersama Pak Kliwon yang sering sakit-sakitan.

"Mas, sebenarnya aku pingin ngomong sesuatu," kata Rani membuka percakapan malam itu sehabis makan malam bersama.

Rani mengajak Doni suaminya ke ruang depan yang jauh dari pendengaran mertuanya. Takut seandainya percakapannya diketahui Pak Kliwon.

"Dah, mau ngomong apa, Ran?"

"Ini Mas. Apa kita gak ngontrak rumah saja. Aku ingin sekali punya rumah sendiri, gak ada campur tangan dari orang tua. Ya latihan mandiri gitulah," pinta Rani pada Doni.

"Hm, Ran, kita itu sekarang mesti berbakti pada orang tua. Ada bapak di rumah sudah tua, kadang malah sakit-sakitan, apa tega jika bapak harus mencukupi kebutuhannya sendiri dalam kondisi yang renta seperti itu," jelas Doni pada istrinya.

"Tapi aku ingin misah saja,  Mas. Besok jika sudah punya anak kontrak saja ya," pinta Rani meminta belas kasihan suaminya.

"Aku tidak tega Ran, lihat Bapak sendiri di rumah."

"Ya sudah Mas, tapi aku tetap pingin punya rumah sendiri," nada Rani  mulai agak meninggi.

"Sabar dulu Ran, itu nanti kita pikir bersama. Sekarang yang penting kita dapat berbakti pada orang tua yang masih hidup. Lagi pula bapak kan gak rewel orangnya. Diam gak banyak tuntutan ini itu."

Sebulan kemudian, Doni meminta izin pada bapaknya untuk membangun rumah di pekarangan yang masih cukup luas milik bapaknya.

Pekarangan yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah bapaknya sudah mulai dibuat fondasi.

Rani bahagia sekali karena yang diinginkannya hampir terwujud. Sebuah rumah yang dihiasi keramaian canda tawa anak-anak.

Suatu sore yang cerah. Langit merah merona menyambut datangnya waktu magrib. Rani dan Doni duduk di ruang tengah ditemani bapak mertua menikmati teh hangat dan pisang goreng hasil panen dari pekarangan. Doni pun memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya.

"Pak, sebentar lagi saya mulai membangun rumah, mohon doanya semoga diberi kelancaran dan segera selesai," kata Doni pada bapaknya.

"Ya saya doakan, semoga segera selesai, nanti bisa langsung ditempati."

"Bapak besok tidak usah khawatir masalah kebutuhan setiap hari. Biar Rani yang mencukupi," pinta Doni pada bapaknya.

"Ya, itu mah gampang. Oh, ya,  ini ada sedikit uang untuk tambahan membeli semen," kata Pak Kliwon sambil menyodorkan sejumlah uang beramplop kuning pada Doni.

"Gak usah Pak. Saya sudah ada biaya kok," tolak Doni halus.

"Ya, aku tahu, tapi ini memang sudah aku niatkan untuk membantumu membuat rumah. Terimalah Don, meski sedikit semoga bermanfaat," pinta Pak Kliwon.

Doni menerima amplop itu dengan mata berkaca-kaca. Tak sanggup berkata apa-apa, hanya memeluk bapaknya dengan erat.

"Terima kasih Pak, terima kasih...!"

Rani yang menyaksikan adegan itu hanya mempu menitikkan air mata.

***selesai***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun