Sore hari, aku baru sampai di rumah. Kulihat Ibu berwajah begitu murung. Saat itu Mbak Semi belum datang, jadi aku dan Ibu dapat lebih leluasa saat berbicara.
Ibu menggandeng lenganku, mengajak  ke kamar berdua, dan pintu pun segera ditutup rapat serta dikunci.
Dengan mata berkaca-kaca, perempuan itu memulai berbicara. Ada gurat sedih di hatinya, sesekali kalimatnya terputus, mungkin menahan gejolak rasa yang begitu berat.
"Din, kau tahu, kan perhiasan Ibu yang berada di lemari pakaian? Yang aku bungkus dengan plastik kresek warna hitam, itu. Nah, sekarang hilang. Ibu juga nggak tahu keberadaannya."
"Ah, yang bener saja, Bu. Masa, sih? Mungkin Ibu lupa naruhnya di mana, atau tertindih pakaian Ibu?"
"Nggaklah, Din. Semalam Ibu nggak tidur, membolak-balik pakaian di lemari, membersihkan dan merapikan kembali. Semua sudut sudah kulihat, sampai ke kolong tempat tidur, tapi tetap nggak ketemu."
Aku dan Ibu terdiam dalam angan masing-masing. Sejurus kemudian, aku pun memberikan masukan pada Ibu.
"Bu, nanti aku bantu mencari lagi ya. Itu jika dikurs dengan rupiah, kira-kira berapa, Bu?"
"Hah, banyaklah, Din. Mungkin lima puluh juta-an. Semua perhiasan Ibu kan ada di situ. Ibu juga hanya memakai cincin ini saja," kata Ibu sambil menunjukkan cincin bermotif flora di jari manisnya.
"Ya Allah, Bu. Aku jadi ikut bersedih dengarnya. Baru saja Bapak meninggal, eh, kok Ibu kehilangan yang lain. Kita juga nggak bisa menuduh sembarang orang, kan, Bu? Ibu yakin benda itu benar-benar hilang?"
"Sangat yakin, Din. Selama Bapak sakit, benda itu masih di tempat semula, tidak pernah bergeser. Nah, setelah Bapak meninggal, kenapa tiba-tiba Ibu kepikiran, dan ... benar saja."