Sudah satu minggu ini, Kang Rejo tidak dapat berbicara. Sumini, istrinya pun tampak uring-uringan setiap hari karena tidak dapat menerjemahkan apa yang dikehendaki suaminya.
"Ealah, Kang ... Kang. Wong ming lombok kok ya tok pingini. La kalau sudah begini kan jadi aku yang repot, to.
Aku dadi ora ngerti bahasamu. Apa aku harus jadi tarzan biar tahu bahasamu yang hanya ah uh ah uh itu.
Ya Allah paringana tambah sabar," keluh Sumini pagi itu seakan menumpahkan semua beban di hatinya.
Kang Rejo seminggu yang lalu diajak ke sawah Kang Makmun yang sebentar lagi panen lombok rawit dan keriting.
Memang terlihat indah sekali tanaman di sawahnya. Semua lombok tampak sehat tidak diserang hama tanaman.
Menilik dari hasil panen yang cukup bagus, pastilah akan terjual dengan harga tinggi lombok tersebut.
Sejak kecil Kang Rejo dan Kang Makmun bersahabat baik. Kang Rejo berperawakan tinggi kurus, sedang Kang Makmun agak gemuk. Keduanya merupakan teman sekolah, dan juga mendapatkan istri yang sama-sama cantik.
Hanya istri Kang Rejo memang sedikit bawel, dibandingkan istri Kang Makmun.
Sore hari Kang Rejo kedatangan tamu seorang laki-laki salah satu sahabatnya dulu ketika merantau, tapi saat ini sedang menganggur.
Dia ternyata bertamu ingin mendapatkan pekerjaan.
Setelah saling melepas rindu, percakapan mereka pun tampak serius.
Malam hari, saat semua tertidur lelap, Kang Rejo pun melancarkan aksi yang telah direncanakan sejak sore.
Dia tidak sendirian, tapi dibantu beberapa orang, termasuk sahabatnya yang ternyata bernama Purnama.
Berbekal sebuah karung besar, Kang Rejo dan kelompoknya mulai memetik lombok rawit dan keriting yang siap panen.
Aksi pencurian itu berlangsung sekitar dua jam karena sawah milik Kang Makmun agak luas.
Hasil pencurian itu pun langsung dibawa ke pasar induk untuk dijual.
Tanpa menunggu lama mereka pun sudah mendapatkan segepok rupiah di tangan.
Menjelang subuh, Kang Rejo kembali ke rumah. Tanpa kesulitan dia masuk ke rumah, karena membawa kunci serep. Dia langsung menuju kamar dan ingin merebahkan diri.
Mendengar kamar dibuka dengan kasar, Sumini pun terbangun.
Matanya terbelalak ketika melihat suaminya terlihat kusut serta ada beberapa pucuk daun lombok di rambutnya.
"Kang ... Kang ... dari mana, sih, kok baru pulang? Ronda ya?"
Kang Rejo tidak menjawab pertanyaan istrinya, dan segera merebahkan diri serta menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
Sumini bangun dan seperti biasa, aktivitas paginya pun dimulai. Tangannya lincah meramu masakan. Dari arah dapur mulai tercium bau masakan.
Saat azan subuh berkumandang, Kang Rejo dibangunkan Sumini.
Beberapa kali Sumini membangunkannya, tapi tidak ada sahutan. Sumini pun beberapa kali menggoyang-goyangkan tubuh suaminya, agar segera bangun dan salat subuh.
Kang Rejo tiba-tiba tidak mampu berbicara, hanya terdengar lenguhan seperti sapi. Tangannya kini membantu menyampaikan maksudnya. Sumini segera mengambil kertas dan menyodorkan pada suaminya.
Sumini tak kuasa menahan air mata, saat mengetahui suaminya menjadi bisu.
"Kang ... istigfar. Kok menjadi begini, sih, Kang. Apa kesambet penunggu, di mana Kang? Ayo Kang tolonglah ceritakan!" pinta Sumini pada suaminya yang kini mulai menitikkan air mata juga.
Tidak mau berlarut-larut dalam tanya yang tidak pasti, akhirnya Sumini pun meminta tolong pada orang yang dianggap mengerti.
Sumini tampak manggut-manggut setelah dijelaskan oleh Mbah Soma. Tidak sabar menanti nasib suaminya, Sumini pun buru-buru bertanya pada Mabh Soma.
"Maaf Mbah, terus suami saya dapat sembuh nggak ya?"
"Tergantung. Maksudnya tergantung yang punya lombok ikhlas tidak. Jika tidak ikhlas ya, selamanya akan seperti itu."
Wajah Sumini tampak lesu mendengar jawaban Mbah Soma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H