Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Garang

22 Oktober 2020   10:12 Diperbarui: 22 Oktober 2020   10:26 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki Garang

"Mbak, ini putra  yang kecil ya?" tanyaku pada perempuan  berkerudung yang umurnya setahun lebih tua dariku.

"Bukanlah, Mbak. Ini cucuku yang pertama," jawab Mut sambil menyuapi  sayur sop   pada anak perempuan  di gendongan  yang berusia sekitar satu tahun itu.

Kulihat matanya agak juling. Kasihan, mana anak perempuan.

Dialah Mut teman sekolah ketika SD. Setahuku, setelah  tamat SD, sekitar dua tahun  kemudian,  Mut menikah. Suaminya masih tetangga dekat yang sudah cukup umur. Perbedaan umur keduanya cukup banyak.

Aku dan Mut pernah satu kelas, meski tidak begitu dekat, tetapi saling kenal. Dia tipe anak yang pendiam, tidak neka-neka, dan patuh pada orang tua.

"Lo, cucu to? Saya kira anak bungsu," jawabku sambil memilih sayuran yang dijual Mut.

Sebenarnya tiap hari aku sudah langganan berbelanja  di tukang sayur, tetapi melihat temanku juga berjualan, lagi pula dia menanggung cucunya juga,  maka aku sering berkunjung ke warungnya untuk membeli beberapa bahan masakan.

"Anak saya enam, Mbak. Jarak antara anak ketiga dan adik-adiknya sangat jauh. Dulu sih KB, tetapi sudah saya lepas alat kontrasepsinya. Eh, kok tiba-tiba mendapat anak lagi," jelas Mbak Mut sambil terkekeh.

Aku pun ikut tersenyum mendengarnya.

Mut hidup dengan berdagang. Menurut ceritanya, dia berdagang apa pun, mulai dari bakso pentol, bakmi godog, nasi goreng, maupun bakmi goreng. Suaminya seorang tukang kayu.  Kehidupan Mut terlihat berat menahan beban hidup, tetapi perempuan desa itu cukup tegar. Tidak terlihat gurat derita di wajahnya, meski terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.

"Mbak  jualan sambil momong cucu ya?" tanyaku sekenanya.

"Ya, beginilah. Cucuku ditinggalkan ibunya."

Mataku terkesiap mendengar kalimat Mbak Mut baru saja. Perasaanku pun mulai menduga-duga ada sesuatu yang tidak beres terhadap cucunya.

Aku tidak ingin mendengar cerita sedih dari temanku ini, tapi secara refleks dia sudah mulai bercerita dengan lancar. Mungkin dengan bercerita, beban Mut pun sedikit  berkurang.

"Anakku yang sulung menikah dengan ibu anak ini. Tipe anakku memang keras, garang, tidak mau kerja,  dan suka main tangan. Mereka kenal sudah beberapa tahun entah kenalnya di mana. Setelah menikah, Toro, anakku sering melakukan KDRT. Istrinya sering dipukuli, tidak peduli kondisinya. Setelah anak ini lahir, dia kembali ke orang tuanya."

"Ya Allah," bisikku ikut prihatin dengan nasib anak kecil itu.

"Berarti dari bayi ikut sampeyan ya, Mbak?"

"Dari umur satu bulan, bayi itu menjadi tanggung jawabku. Bapaknya tidak kerja. Ya perempuan mana yang kuat jika tiap hari mendapat perlakuan kasar, sementara dirinya tidak memberikan nafkah sepeser pun," kata Mut serius. 

Kulihat buliran bening menetes dari sudut netranya.

Aku mendengar cerita Mut hampir menitikkan air mata. Seorang ibu, sampai kapan pun tetap menjadi ibu, yang berusaha menolong, membantu, melindungi buah hatinya.  Apalagi kepada cucunya. Dia akan rela meskipun harus berjuang dengan susah payah.

Mut mempertahankan hidup  berdagang sambil mengasuh cucunya. Betapa berat yang kau rasakan Mut. Namun aku yakin, Mut bukanlah seorang yang lemah. Mut justru merupakan sosok inspiratif yang tegar, berjuang untuk mempertahankan  hidup dan kehidupan.

"Mbak nggak repot berdagang sambil mengasuh cucu?" tanyaku ingin mengetahui reaksinya.

"Ya setiap pagi sesudah salat Subuh, aku ke pasar, mencari dagangan, cucuku dijagain anakku yang kecil. Setelah cucuku mandi, dan sarapan,  dia kuajak ke warung."

Aku manggut-manggut mendengar cerita heroiknya. Dalam hati aku sangat mengagumi pahlawan perempuan ini. Betapa besar hatinya menghadapi semua cobaan hidup ini.

Beberapa saat setelah kurasa cukup memilih barang belanjaan, segera minta pamit. Dalam hati aku berterima kasih pada Mbak Mut yang telah mengajarkan tentang semangat, tegar, sabar dan kasih sayang.

"Semoga tambah sabar dan ikhlas, Mbak," kataku sambil menepuk bahu Mbak Mut.

Magelang, 22 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun