"Mbak  jualan sambil momong cucu ya?" tanyaku sekenanya.
"Ya, beginilah. Cucuku ditinggalkan ibunya."
Mataku terkesiap mendengar kalimat Mbak Mut baru saja. Perasaanku pun mulai menduga-duga ada sesuatu yang tidak beres terhadap cucunya.
Aku tidak ingin mendengar cerita sedih dari temanku ini, tapi secara refleks dia sudah mulai bercerita dengan lancar. Mungkin dengan bercerita, beban Mut pun sedikit  berkurang.
"Anakku yang sulung menikah dengan ibu anak ini. Tipe anakku memang keras, garang, tidak mau kerja, Â dan suka main tangan. Mereka kenal sudah beberapa tahun entah kenalnya di mana. Setelah menikah, Toro, anakku sering melakukan KDRT. Istrinya sering dipukuli, tidak peduli kondisinya. Setelah anak ini lahir, dia kembali ke orang tuanya."
"Ya Allah," bisikku ikut prihatin dengan nasib anak kecil itu.
"Berarti dari bayi ikut sampeyan ya, Mbak?"
"Dari umur satu bulan, bayi itu menjadi tanggung jawabku. Bapaknya tidak kerja. Ya perempuan mana yang kuat jika tiap hari mendapat perlakuan kasar, sementara dirinya tidak memberikan nafkah sepeser pun," kata Mut serius.Â
Kulihat buliran bening menetes dari sudut netranya.
Aku mendengar cerita Mut hampir menitikkan air mata. Seorang ibu, sampai kapan pun tetap menjadi ibu, yang berusaha menolong, membantu, melindungi buah hatinya. Â Apalagi kepada cucunya. Dia akan rela meskipun harus berjuang dengan susah payah.
Mut mempertahankan hidup  berdagang sambil mengasuh cucunya. Betapa berat yang kau rasakan Mut. Namun aku yakin, Mut bukanlah seorang yang lemah. Mut justru merupakan sosok inspiratif yang tegar, berjuang untuk mempertahankan  hidup dan kehidupan.