Teringat cerita Bapak sekian tahun yang lalu. Aku paling senang jika Bapak mau menceritakan masa kecilnya, ketika zaman penjajahan Jepang, atau cerita horor sekalipun. Aku dan adik-adik terbuai oleh kalimat yang disampaikan Bapak.
Setiap malam Jumat, Bapak selalu menyempatkan diri  bercerita tentang keluarganya yang telah meninggal, mulai dari nenek, kakek,  dan saudara-saudaranya.
"Nek malem Jemuwah, do maca tahlil, po Yasin, mbah-mbahne awak dhewe gek do bali. Dadi aja nganti lali le ndongakke," pesan Bapak padaku dan adik-adik.
Biasanya Bapak memimpin baca tahlil atau doa bersama.
Pernah suatu kali Bapak bercerita, bahwa ada semacam kepercayaan di tengah masyarakat sekitarku, tentang suatu tanda berupa suara. Bapak menceritakan bahwa hal ini terjadi berkali-kali, sehingga masyarakat sebagian besar mempercayai.
"Saben ana swara glung, ngono kuwi, iso dipesthekke nek arep ana wong seda," kata Bapak menceramahiku dan adik-adik yang kebetulan saat itu berkumpul bersama di ruang tengah.
Adikku yang terkenal banyak omong mungkin merasa penasaran. Akhirnya memberanikan diri bertanya pada Bapak.
"Swarane teng pundi niku, Pak?"
"Ya neng cedhake kuburan mau. Dadi swara glung mau kaya nek barang kecemplung ana luwangan, ngono, Ndhuk."
Kami bertiga pun melongo mendengar keterangan Bapak. Merasa ngeri dan takut juga sebenarnya.
Berawal dari rasa penasaranku dan adik-adik, maka kami pun menyetujui untuk berjaga-jaga. Setiap malam kami bertiga pun menjadi pemerhati suara yang mungkin akan muncul seperti yang dikatakan Bapak.