Tingkah laku orang memang bermacam-macam. Kadang ada yang membuat jengkel, tersenyum, tertawa, atau jadi ikut bersedih dan menangis.Â
Mbah Pon, seorang janda berusia sekitar tujuh puluh tahun, ditinggal mati suaminya sejak sepuluh tahun yang lalu. Anak-anaknya semua berada di kota besar, sudah mempunyai anak dan istri, dan pulang ketika hari lebaran atau ada perlu keluarga.
Mbah Pon hidup sendiri di rumah, tetapi setelah suaminya meninggal, ada seekor kucing yang setia menemaninya di mana pun berada. Entah dari mana datangnya kucing itu, tiba-tiba saja muncul. Kucing berbulu blorok itu matanya hanya satu. Kondisi yang demikian menyebabkan Mbah Pon menjadi iba. Setiap hari dibelikannya ikan pindang yang telah digoreng atau mentah. Kadang ayam goreng juga, satu daging untuk berdua dengan Blorok, nama kucing itu.
Sekian lama menemani Mbah Pon, Blorok pun telah memiliki banyak keturunan. Ada yang sudah mati mendahului induknya karena tercebur sumur ketika berkelahi dengan kucing lain, atau karena sakit. Kini, tinggal dua keturunan Blorok, yaitu Si Belang dan Si Putih. Belang dan Putih merupakan anak dan induk.
Setiap pagi menjelang subuh, Si Putih dan Si Belang ribut minta makan. Maka Mbah Pon pun menyiapkan nasi yang akan dicampur dengan ikan pindang.
"Sabar, ya, aku salat Subuh dulu. Nanti setelah salat, kamu akan kuambilkan nasinya," pesan Mbah Pon pada kedua peliharaannya.
Belang dan dan Putih pun seakan mengetahui bahasa manusia. Mereka diam, karena ada harapan akan segera mendapat nasi pindang.
Tanpa disuruh, kedua kucing itu pun mengikuti  langkah Mbah Pon ke musala. Sampai di depan pintu musala, Mbah Pon mencegah kedua kucing untuk masuk ke ruangan musala.
"Kamu tunggu di sini, ya, nanti setelah aku selesai salat Subuh, kamu segera makan."
Kucing itu pun tidak berisik dengan mengeong, karena tahu majikannya sedang beribadah. Dengan sabar, kedua kucing itu menanti Mbah Pon sambil menjilati seluruh tubuhnya.
Mengetahui majikannya keluar dari musala, kedua kucing itu pun berjingkrak-jingkrak dan mendahuli langkah Mbah Pon.
Mungkin karena saking gembiranya, kedua kucing itu pun berlarian, seakan berlomba  untuk mendapatkan sentuhan majikannya. Biasanya Mbah Pon menggendong Putih yang terlihat lebih muda dan berat tubuhnya lebih besar.Â
Segera Mbah Pon mengambilkan nasi yang sudah dicampur dengan  potongan kecil-kecil ikan pindang. Kedua kucing itu nampak bergembira sekali. Tetapi, Mbah Pon segera memberikan wejangan pada kedua kucingnya.
"Jika makan harus dihabiskan, jangan ada yang tersisa, mubazir, kan."
Kedua kucing itu pun makan dengan sangat lahap. Tiap butir nasi dimakan, seperti saran majikannya.
Ketika melihat masih ada sisa nasi di dalam tempat makannya, Mbah Pon langsung berkomentar.
"E ... dihabiskan, to nasinya, mubazir," seru Mbah Pon sambil mengangkat Belang ke nasi yang baru saja ditinggalkannya.
Kucing itu pun akhirnya menghabiskan nasi yang disediakan, tanpa sisa.
Mbah Pon merasa puas dengan kucingnya.
Begitulah setiap waktu makan tiba, Â Mbah Pon selalu menceramahi kucing-kucingnya agar makan dengan lahap dan menghabiskan nasinya, sehingga tidak mubazir.
Suatu saat, Wanto, tetangganya bertanya pada Mbah Pon ketika selesai salat berjamaah di musala. Mungkin dia penasaran pada Mbah Pon yang selalu memberikan ceramah tiap waktu makan tiba.
"Mbah Pon, cucu dan putranya pulang ya? Kok tadi aku dengar sepertinya berbicara dengan seseorang?" tanya Wanto keheranan pada tetangganya yang sudah cukup renta itu.
"Nggak, nggak ada orang di rumah. Anak-anak juga tidak pulang kok."
"La tadi Mbah Pon bicara dengan siapa, kok disuruh menghabiskan nasinya agar tidak mubazir?"
Mbah Pon terkekeh.
"Wo ... itu kucingku, Belang dan Putih, jika pas waktu makan, aku pasti bilang dihabiskan nasinya agar tidak mubazir."
"Oalah, Mbah. Kupikir ada tamu anak atau cucunya, Mbah."
Wanto pun  tersenyum.Â
"Kucing kok diajak ngomong," batin Wanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H