Satu minggu di rumah Sumi, Bu Sumirah merasa kangen dengan Mas Yon anak laki-lakinya. Mas Yon yang selalu diharapkan menemuinya tidak kunjung datang juga.
Tiap pagi, siang dan sore, Mas Yon selalu dinanti di teras rumah. Pandangan Bu Sumirah pun kadang menerawang jauh. Mungkin rasa yang di dalam hatinya tidak pernah dipahami oelh Mas Yon.
"Bu, kenapa kok kelihatan sedih?" Â tanya Sumi sore itu ketika menghidangkan segelas teh hangat untuk Ibunya.
"Ora pa-pa, Nduk. Ming kakangmu kok ra tau mrene ya? Apa saking akehe gaweyane, nganti meh seminggu kok ora ngaruhke pa mampir mrene ora ketung sedhelet."
"Ya, nanti saya kabari dia, Bu, bahwa Ibu kangen," kata Sumi membesarkan hati Ibunya.
Seminggu sudah Sumi memberi kabar kepada kakaknya, tetapi tidak pernah ada jawaban seperti yang diharapkan. Sumi pun kebingungan menghibur hati Ibunya.
"Kok durung mrene-mrene, ya, Nduk?"
Mungkin sedang tugas di luar kota, Bu, jadi tidak dapat pulang segera. Nanti pasti akan kusampaikan lagi, Bu.
"Tenan, ya, Nduk. Aku kok rasane kangen banget."
Hari berganti minggu, tetapi sosok yang dinanti pun tidak pernah menemui Ibunya. Tiap kali matahari  menyapa dan kembali ke peraduan, Bu Sumirah selalu menanyakan Mas Yon. Kabar berita pun tidak pernah ada, satu hari menjelang kematiaannya, Bu Sumirah mengeluhkan anak laki-lakinya yang selalu dirindunya.
"Ealah, Le, kok ora gelem ngaruhke, Mbokmu, to, kebangeten banget!"Â