"Mbakyumu kuwi galak. Aku sok ora betah nek krungu le nesu-nesu karo kakangmu. Dhadhaku terus dheg-dhegan ora karuwan," kata Bu Sumirah pelan-pelan agar tidak kedengaran kakak iparku.
Sumi memperhatikan ekspresi wajah Ibunya yang terlihat sedih. Setiap kali ada pertengkaran di keluarga kakaknya, Bu Sumirah pasti mendengar karena jarak rumah saking dekatnya.
"La gimana to, Bu?"
"Wah, nek nesu ki bengak-bengok, nganti tangga-tanggane dho kungu kabeh. Aku isin, ning arep ngelekke ya ora wani. Bojone ya kalah, kok."
"Makanya Bu, ikut aku saja, ya. Di sana aman, tidak mendengar suara apa pun. Ibu tinggal memperbanyak ibadah, mengaji, dan bersilaturahmi dengan saudara dan tetangga, jelas Sumi.
"Aku abot ninggalke omah, sebab ana pitik pirang-pirang, karo omah ki nek tak tinggal kok rasane kepiye, Nduk."
"Ya, besuk misal seminggu sekali menengok rumah, terus kembali lagi, Bu. Nanti rumah saya bersihkan, ayam juga kuberi makan, Bu, jangan khawatir."
Bu Sumirah kemudian melanjutkan curhat, tentang cucu-cucunya, ya anak Mas Yon yang sering dimarahi Ibunya.Â
"Nggak usah didengarkan, Bu. Nanti jika Ibu memikirkan itu terus tambah sakit, lo," Sumi memberi alasan pada Ibunya.
"Ya wes, aku tak nyoba nginep seminggu dhisik ya, nek krasan tak teruske," pinta Bu Sumirah yang disambut dengan gembira oleh Sumi.
"Ya, Bu. Terserah Ibu saja. Mau seminggu, dua minggu atau selamanya sumangga. Yang penting Ibu tetap sehat.