Tulisan ini akan saya mulai dengan sebuah pertanyaan yang saya lontarkan di twitter: apa indikator sebuah obyek bersejarah (dalam hal ini bangunan) kehilangan nilai sejarahnya?
Jawaban beberapa teman sangat menarik dan membuka perspektif semakin luas. Ada yang mengatakan wujudnya, pemaknaannya, renovasi/pembaruan, perubahan fungsi, keutuhannya, komersialisasi, kerusakan, dan sebagainya. Semua jawaban barangkali dapat diterima, karena subjektifitas merupakan aspek penting dalam dialektika. Namun subyektifitas tersebut juga dipengaruhi oleh kesadaran, dalam hal ini kesadaran sejarah.
Meskipun masih memiliki nilai sejarah, kebanyakan obyek bersejarah mengalami degradasi nilai saat bentuk atau fungsinya diubah. Misalnya warna dari bangunan tersebut. Mari kita berkaca kepada apa yang terjadi di semarang beberapa bulan yang lalu. Pengecatan museum 3D di kawasan kota lama Semarang dengan cat yang berwarna-warni mengundang banyak perdebatan.Â
Alih-alih menjadikan Kota Lama sebagai ikon pariwisata, pengembangan kawasan Kota Lama tersebut malah mengabaikan peraturan daerah (perda) tentang kawasan cagar budaya. Dalam Perda dijelaskan, konsep elemen dan warna bangunan kuno kawasan Kota Lama yang memiliki nilai sejarah tinggi harus dipertahankan dan tidak boleh dirubah, sesuai dengan tipologi bangunan.
Arti Penting Tangga LonthorÂ
Kegelisahan saya muncul saat mendapatkan kabar pengecatan tangga di Desa Lonthoir, Kecamatan Banda Neira, Maluku Tengah. Tanpa tendensi apapun, dalam tulisan ini, saya mengerahkan keberanian untuk jujur pada sudut pandang saya sebagai pecinta sejarah Banda. Tangga Lonthoir memiliki arti penting karena memiliki nilai sejarah yang tinggi.Â
Sejak Belanda menduduki pelbagai tempat di Maluku awal abad ke-17, mereka sudah membangun tiga macam administrasi pemerintahan. Yang pertama dinamakan Gouvernement der Molukken dengan pusat di Ternate. Yang kedua adalah Gouvernement van Ambonia yang berpusat di Ambon. Ketiga adalah Gouvernement van Banda yang berpusat di Banda Neira dan mencakup Maluku Tenggara dan Maluku Barat Daya (R. Z. Leirissa, 1982).
Di bawah kekuasaan VOC, status Kepulauan Banda adalah satu dari tiga provinsi yang ada di gugusan Kepulauan Maluku. Kedudukannya sebagai ibu kota provinsi (Gouvernement van Banda) menunjukkan betapa pentingnya daerah ini bagi Belanda. Pembagian wilayah administratif ini tentu menguntungkan Banda dan berpengaruh terhadap morfologi Kota Neira. Pada abad ke-17, Kota Neira dijadikan pusat pertahanan dan permukiman gubernur jenderal di Hindia Belanda.Â
Pembangunan-pembangunan yang dilakukan pada masa VOC dapat dilihat dari prasasti-prasasti pada tiap bangunan, salah satunya terdapat pada tangga di Lonthoir (lihat gambar). Di prasasti tangga tersebut, terukir kalimat "gouveneur en directeur de seur provinte" yang berarti 'tangga diresmikan oleh gubernur dan direktur Provinsi Banda', pada waktu itu (tahun 1754), yakni Reynicus Siersma.
Bangunan memang kerap kali dijadikan alat legitimasi penguasa. Tetapi di balik itu, terdapat narasi bahwa peninggalan tersebut dibangun oleh kerja keras masyarakat setempat dengan peralatan yang tersedia pada masa itu. Kita sudah cukup dengan narasi rasis anti-kolonial atau nyinyiran mengenai glorifikasi kolonial, terkadang sejarah harus dilihat dari sisi lainnya, yang bukan penguasa dan bukan pemenang.Â
Nilai sejarah juga bukan dilihat dari dicat baru atau dibuat baru, tapi memperlihatkan keasliannya agar masyarakat tahu bahwa peninggalan tersebut dibangun oleh tangan-masyarakat setempat. Apalagi bangunan yang bersangkutan masih berfungsi vital sebagai akses jalan dari Lonthoir bawah menuju ke Lonthoi atas.
Sebuah Refleksi
Sebagai individu yang mencintai Banda Neira pada pembacaan pertama sejarahnya (saya selalu merujuk kepada buku Sejarah Banda Neira karya Des Alwi yang sangat heroik), saya berharap, aksi mengecat bangunan cagar budaya selalu diiringi dengan upaya pelestarian. Bukan malah mengurangi nilai sejarahnya. Apabila alasannya adalah untuk meningkatkan pariwisata, bias rasanya apabila modalitas utama yang dimiliki Banda malah adalah wisata sejarahnya, disamping wisata alam. Hal ini diakui oleh para pegiat pariwisata yang tergabung di Banda Tourism Board. Paket spice tour menjadi paket wisata populer yang kerap diincar wisatawan dalam negeri maupun mancanegara.
Perihal cat mengecat juga memerlukan perlakuan khusus. Cagar budaya yang telah berumur ratusan tahun rentan rusak dan lembap. Sehingga dibutuhkan material cat yang bukan hanya mempercantik, tetapi juga dapat melindungi bangunan tersebut. Mengecat bangunan cagar budaya dengan warna layaknya pelangi yang justru akan menghilangkan kesan bangunan bersejarah. Kalau bangunan cagar budaya kehilangan sisi orisinalitasnya, sejarah yang terkandung di dalamnya bisa turut lenyap.
Menjaga dan melestarikan bangunan cagar budaya bukan pekerjaan yang ringan, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Â Jangan sampai bangunan ini menjadi cagar budaya yang terpinggirkan. Upaya pelestarian dapat dimulai dengan menambah kesadaran kita akan sejarah. Nilai sejarah itu memang sesuatu yang tidak bisa digenggam. Tetapi ia berfungsi mempersatukan. Menalikan kisah-kisah sedih ataupun heroik yang menjadi modal untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu maupun masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H