A
ku masih menatap benda putih itu, penuh guratan yang dipaksakan, benda itu seharusnya bisa mengkilap tanpa bekas. Beberapa menit aku memandangnya, mengamati dan sembari memunculkan beberapa tanya. “Sepertinya ada yang tidak tepat”gumamku. Belum ada yang mampu membuyarkan lamunanku akan benda itu.
Aku memang telah beranjak pergi meninggalkan benda itu, namun ribuan pertanyaan masih bergelanyut di dalam otakku. Hidup memang kadangkala penuh dengan tanda tanya, beruntung jika kita masih sempat untuk mencari jawabannya. Namun juga bukan sebuah kesialan jika kita harus menjalani hidup dalam tanda tanya, tidak bisa dimengerti dan tentunya tidak bisa ditawar. Karena kita akan bertemu dengan kejutan – kejutan yang akan turut serta membuat letupan penuh makna dalam hidup ini. Baiklah, Kali ini Aku tidak akan membiarkan tanda tanya itu berlalu begitu saja.
Benda berbahan porselin, berwarna putih yang seharusnya mengkilap, penuh dengan guratan, dan tentunya yang membuatku harus menyisakan ruang berfikir di otakku itu bernama urinoir.
“Ini memang konyol, Zul.”
“Oke, oke, Aku tidak akan bercerita dengan pengalamanku ketika buang air kecil, tahapan apa saja yang harus dilakukan, ataupun membahas tipe dan bahan apa yang tepat untuk urinoir di sebuah perkantoran. Sekali lagi tidak…” aku berusaha melanjutkan ceritaku dengan semangat meskipun lawan bicaraku sama sekali tidak memahami tentang urinoir. Tentu saja, karena aku laki – laki dan dia perempuan.
Aku hanya ingin mengajakmu merenung sejenak.
“Dari benda bernama urinoir?” tanyanya
“Iya” jawabku tegas
Perhatikanlah dengan logikamu.
Benda bernama urinoir itu memang harus selalu dalam kondisi bersih, dan cara termudah untuk membuatnya bersih adalah dengan menggosoknya. Namun sadarkah setiap orang yang menggosok urinoir itu bahwa gosokan dengan kekuatan dan semangat pejuang 45 itu ternyata malah menimbulkan guratan – guratan. Aku faham bahwa tujuan orang itu mulia, yaitu ingin membuat urinoir itu bersih sehingga yang akan menggunakannyapun akan merasa nyaman.
Tapi, saat ini urinoir itu tidak akan seindah seperti yang dulu karena penuh guratan disana – sini. Jika diijinkan untuk berbicara seandainya, meskipun hal ini hanya kesia – siaan belaka. Seandainya orang itu mau menggosoknya dengan memperhatikan sisi lain, keindahan misalnya. Maka orientasi dari orang tersebut bukan hanya bersih dan mengkilap namun juga indah karena ia mampu mensinkronisasikan antara kebersihan dan keindahan dalam satu nada gerakan yang sama, dan guratan itu tidak akan muncul.
“Seperti hati manusia..”
“Memangnya apa hubungannya guratan pada urinoir itu dengan hati manusia? Terlampau jauh sepertinya, terlalu sulit untuk mencari korelasi antar keduanya.”
“Belum tentu,”
Setiap hati memiliki rasa yang tidak hanya dipakai untuk merasa tapi juga melihat, mendengar, dan melakukan. Karena hati kadang kala memiliki posisi di atas logika, satu – satunya yang mampu mengakuisisi kinerja otak adalah hati. Berbicara tentang hati sama halnya berbicara tentang kelembutan. Siapa bilang, kan ada orang yang berhati keras?Bukankah batu yang keras sekalipun, akan membentuk lubang jika ditetesi air terus menerus?
Ingatlah, sekeras apapun hati, ia masih memiliki nurani.
Maka dengarkan satu pesan ini dengan nuranimu
Bisa jadi kita marah atau berbuat kasar kepada seseorang dengan tujuan baik karena kita ingin seseorang itu menjadi pribadi yang lebih baik. Lantas jika diperuntukkan untuk kebaikan kenapa harus dilakukan dengan kemarahan? Apakah kita tidak boleh marah? Aku tidak mengatakan demikian, karena menurutku marah adalah ekspresi dalam batas ketidakwajaran. Setiap orang berhak atas ekspresi apapun yang ingin ditunjukkan. Sungguh tidak mudah untuk menahan marah. Aku bahkan tidak meminta kamu untuk menahan marah. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa kita tidak pernah tahu seberapa tangguh hati seseorang saat kita memilih memarahinya meskipun untuk tujuan yang baik. Tidak mengetahui kondisi hati seseorang bukan berarti men–settingkondisi hatinya sama dengan kondisi hatimu, bukan?
Setiap tempaan yang melebihi batas kewajaran tidak selamanya menghasilkan sesuatu yang tidak baik, namun pasti tidak akan menghasilkan sesuatu yang sempurna. Seperti halnya gosokan pada urinoir itu, Nampak bersih dan nyaman, tetapi tidak indah. Begitu juga hati manusia yang selalu punya batas toleransi terhadap penerimaan.
Maka, perlakukanlah hati manusia dalam batas kewajaran.
Marahlah, asal bisa memastikan tidak ada guratan yang tertinggal.
Raise your words, not voice. It is rain that grows flowers, not thunder.
– Jalaluddin Rumi –
– 31 Agustus 2016 –
– Ditulis dari pengalaman teman Saya dengan pengembangan alur dan pesan cerita,
diceritakan kembali dengan Saya pribadi sebagai sudut pandang kedua. –
– Terima kasih dan semoga bermanfaat –
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H