Arghhhh kenapa dia juga harus datang di saat yang tidak tepat? Kram perut ini perlahan namun pasti mulai datang menyerang. Saya bertumpu di atas kedua kaki yang sudah mulai melemah disokong oleh tongkat, tidak ada air untuk minum ataupun logistik karena sedari menuju pos 3 carrier Saya sudah berpindah tangan.
Mulai mengatur nafas dan menegakkan badan, dan berusaha untuk tetap bersikap tenang sembari berdoa. Berangsur – angsur rasa nyeri itu mulai bisa dilokalisir dan diatasi, dan tetiba “Sroooooootttt”Saya mulai kehilangan keseimbangan lantaran salah berpijak, meluncur sekitar 5 langkah kaki menuruni bekas pijakan langkah kaki Saya sebelumnya.
Seseorang menjulurkan tangannya menarik lengan Saya dan membantu Saya untuk kembali tegap berdiri. “Hati – hati Teh” ujarnya, dan Saya hanya mampu membalas “Terima kasih atas bantuannya”. Dalam masa kritis sekitar 3 menit ini, I’ve learn that“the only person that can save you is yourself, but don’t worry because God always be with you, if needed He will send His angels at the right time to help you”.
Saya mengakhiri masa kritis Saya dalam pendakian ini dengan berteriak“Pak Ketut, Saya mau air”. Terdengar konyol memang, tetapi harapannya ini tidak membuat panik anggota tim yang lain. Dan tak lama kemudian terdengar peluit. Wow, itu bunyi peluit milik Pak Ketut. Dan dari sisi kanan terdengar suara memanggil “Zulvahhhh” Saya mengenalinyaaaaaaa, itu kubu sweeper. Sesungguhnya ini adalah pertemuan yang mengharukan, termehek – mehek lah pokoknya. How lucky I’m, Thanks God. I still remember Your promise that “Verily, with every hardship comes ease”.
Saya kembali bergabung denga kubu sweeper, puncak sudah di depan mata, tapi entahlah kenapa langkah kaki ini tak sampai juga. Pukul 05.15, sudah mulai ada tanda – tanda sunrise, seorang tim sweeperbertekad untuk melaksanakan sholat Subuh di puncak. Dan Kamipun berpisah. Bukannya Saya pesimis, namun Sayalah yang tahu batas kemampuan Saya, dengan waktu 15 menit, jarak tempuh memang hanya berkisar 250 meter namun dengan medan yang demikian tak menentu.
Saya memutuskan untuk mencari pepohonan untuk tumpuan kaki agar tidak meluncur ketika melaksanakan sholat Subuh bersama dua orang rekan Saya lainnya dari kubu sweeper. Kami bertiga menunaikan sholat Subuh dengan kondisi seadanya dan bertumpu pada sebatang pohon kecil. Dan syukurlah Kami bertiga masih bisa menikmati sunrise ditemani renyahnya gigitan buah apel. “Nyam, Nyam, Nyam…”
“Haiiiiii” berteriak sembari mengangkat tongkat Saya, berusaha berkomunikasi dengan teman-teman yang sudah mencapai puncak lebih awal, jarak Saya dan lokasi puncak sekitar 20 langkah lagi. Dannnnnn, Saya sampai di puncak sebagai orang kelima, kemudian disusul seorang rekan lagi. Lantas kemana seorang teman Saya yang bersama – sama menikmati sunrise dengan sebutir apel? Ternyata dia salah ambil jalur. Dan 10 menit kemudian, Kami full team mencapai puncak. “Yeayyyyyyyy….”
The important thing in a picture isn’t about background or who is in the picture, but the memories.
You can capture the memories with camera but camera can’t capture the story. That’s why, I keep this memories with the words.
Zulvah – @ Mt. Guntur (August 17th, 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H