Sebagai negara yang besar, Indonesia tentunya berbangga hati karena memiliki 718 bahasa daerah terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini. Tetapi, ancaman kepunahan bahasa daerah ini seringkali menjadi isu krusial yang harus diselesaikan oleh setiap daerah. Litha (2022) menyebutkkan bahwa dari 718 bahasa daerah di 34 provinsi, 25 bahasa daerah terancam punah, 6 dinyatakan kritis dan 11 bahasa telah punah. Dengan demikian, isu kepunahan bahasa daerah ini perlu diantisipasi dengan baik oleh setiap daerah.
Untuk menyikapi hal ini, Mendikbudristek meluncurkan virtual Merdeka Belajar Episode 17 bertema “Revitalisasi Bahasa Daerah” sebagai upaya menciptakan bentuk dan fungsi baru terhadap suatu bahasa yang terancam punah. Program ini diyakini pemerintah sebagai langkah strategis untuk mengatasi masalah kepunahan bahasa daerah. Namun sayangnya, program ini belum berjalan sepenuhnya di masyarakat karena tidak secara keseluruhan bisa terdeteksi unsur kebahasaan yang hampir punah.
Gorontalo merupakan salah satu daerah yang memiliki ciri khas tersendiri dalam bahasanya. Bahasa Gorontalo seringkali dikenal sebagai bahasa vokalis karena dalam setiap kata, penutur menambahkan bunyi vokalis di akhir kata. Namun sayangnya, bahasa Gorontalo ini tergolong sebagai bahasa yang kritis atau hampir punah. Ditegaskan oleh Rahardini & Niswah (2022) bahwa dari 56 bahasa di Indonesia, bahasa Gorontalo tercatat dalam Data Statistik tahun 2022 sebagai golongan bahasa yang rentan sampai kritis. Bahkan, Supriyadi (2016) dan Suharty, dkk (2022) menegaskan bahwa bahasa Gorontalo merupakan bahasa yang terancam punah dimana penutur aslinya kurang dari 20.000 penutur. Angka ini cukup tragis apabila tidak segera dicarikan solusinya.
Terkait dengan gambaran di atas, fenomena kepunahan bahasa tersebut tidak bisa dipungkiri karena sebagian besar ketidakmampuan masyarakat Gorontalo terutama anak-anak dan remaja dalam menggunakan bahasa Gorontalo menjadi faktor utama mirisnya isu kepunahan bahasa Gorontalo. Hulukati, dkk (2017) menambahkan bahwa lebih memprihatinkan, adanya kenyataan sebagian remaja terutama di daerah perkotaan merasa tidak percaya diri, bahkan dapat dikatakan malu menggunakan bahasa Gorontalo. Sering terjadi, remaja yang menggunakan bahasa Gorontalo dianggap sebagai sesuatu yang langka oleh teman-temannya. Kondisi ini pun terjadi di kalangan desa budaya yang kental dengan adat istiadat Gorontalo.
Desa Bubohu merupakan salah satu desa budaya religi di Gorontalo yang terkenal dengan tradisi walima yang dikelilingi oleh 600 santri dibawah binaan Yosep Tahir Maruf atau dikenal Yotama. Salah satu daya tarik desa wisata budaya religi ini adalah hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW yang dimeriahkan dengan parade walima, dikili, de’be, tari longgo Tulaibala, Tari Tidi Lo O’ayabu. Tetapi sayangnya, semenjak pendiri desa wisata budaya religi telah meninggal, maka situasi desa ini tidak seramai saat pertama kali desa ini berkembang. Para santri mulai terabaikan, potret ajaran islam dalam konsep tradisi Gorontalo mulai tidak dikenali oleh santri dan santriwati di Desa Bubohu. Bahkan, para santri yang diandalkan sebagai pemeran saat kegiatan keagamaan di Desa Bubohu ini mulai tidak bermunculan. Kebiasaan dalam mempelajari ajaran islam pada tradisi lisan Gorontalo mulai tergurus oleh perkembangan teknologi.
Me’raji merupakan tradisi masyarakat Gorontalo yang dilaksanakan setiap bulan Rajab. Muatan dari tradisi ini yakni berisi sirah atau riwayat peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Uniknya adalah naskah meeraji yang dibacakan oleh pelantun secara keseluruhan berbahasa Gorontalo yang ditulis dalam huruf Arab pegon (Gunibala, 2023). Namun sayangnya penguasaan tradisi lisan Meeraji ini mulai tidak terdengar sama sekali. Sebagian besar anak-anak remaja di desa Bubohu yang kental akan tradisi lisan mulai tidak aktif sama sekali. Penguasaan tradisi lisan berupa meeraji (naskah kuno Meeraji) yang dibawakan saat Isra Mi’raj mulai tidak terdengar sama sekali dalam program santri di desa Bubohu. Semenjak pelopor desa budaya tersebut telah meninggal, kegiatan santri mulai tidak terdengar sama sekali selain hanya merayakan maulid nabi dan parade walima. Sementara itu, program penguasaan tradisi lisan seperti meeraji sudah tidak memiliki regenerasi yang handal. Oleh karena itu, tim PKM-PM berinisiasi untuk memberdayakan remaja santri di desa Bubohu tersebut melalui konsep ‘Back to Hero’ dengan meregenerasikan dalam bentuk kaderisasi remaja santri sebagai pelopor sastra lisan ‘Meeraji’ guna merevitalisasi tradisi lisan Gorontalo yang sempat redup disaat pelopor desa tersebut telah wafat. Konsep kaderisasi ini dikombinasikan melalui teknologi exemplary tracking melalui pemanfaatan teknologi berbasis video untuk memfasilitasi remaja santri dalam penguasaan naskah meeraji. Konsep kaderisasi ini dilakukan melalui pendampingan dan pelatihan penguasaan naskah meeraji yang dibuat dalam bentuk video exemplary sehingga memudahkan remaja santri dalam menguasai materinya. Hal ini beririsan dengan konten dari naskah meeraji berkaitan dengan kisah nabi Muhammad SAW yang dibahasakan dalam bahasa Gorontalo, sehingga wacana ini memiliki alur cerita yang memudahkan pendengar paham dengan kisah nabi Muhammad SAW. Hal ini mampu memudahkan konsep pemahaman remaja santri dalam belajar kisah nabi melalui tradisi lisan ‘Meeraji’. Selain itu, konsep exemplary tidak hanya berbasis teknologi tetapi konsep ini dijadikan sebagai metode pelatihan dan pendampingan melalui role model yang menguasai naskah tersebut sebagai praktisi saat pelatihan, sehingga program ini dikemas melalui pelatihan remaja santri dalam menguasai naskah kuno meeraji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H