Mohon tunggu...
Haris Danial
Haris Danial Mohon Tunggu... Lainnya - Dosen

membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dibiayai Belmawa, Mahasiswa UNG Berhasil Memprogramkan Photovoice SHOWeD bagi Anak Jalanan di Kota Gorontalo

13 Oktober 2023   15:13 Diperbarui: 13 Oktober 2023   15:18 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena anak jalanan menjadi salah satu permasalahan sosial yang cukup kompleks bagi kota-kota besar di Indonesia. Syabana (2022) menyebutkan bahwa dilansir dari Beritasatu.com., data dari Kemensos R.I menunjukan bahwa jumlah anak jalanan di indonesia mencapai 4,1 juta jiwa dan jumlahnya bertambah serta ditambah 35.000 anak mengalami eksploitasi. Jumlah ini sangat fantastis karena hampir sebagian besar anak Indonesia tergolong sebagai anak jalanan, dan hal ini tidak heran menjadi isu hangat yang seringkali dibicarakan dimana saja.

Populasi anak jalanan di wilayah Kota Gorontalo terus meningkat setiap tahunnya. Ansik dkk (2019) menyebutkan bahwa tercatat tahun 2017 berdasarkan data Dinas Sosial Kota Gorontalo terdapat 55 jiwa dari penduduk Gorontalo dikategorikan sebagai anak jalanan. Selain itu, Khali (2017) menyebutkan bahwa prevalensi data tiga tahun sebelumnya 2014-2016 bahwa jumlah anak jalanan seringkali bertambah tiap tahunnya. Data Dinas Sosial Kota Gorontalo menyebutkan bahwa tahun 2014 jumlah anak jalanan mencapai 47 orang, tahun 2015 sebanyak 73 orang, dan tahun 2016 sebanyak 86 orang. Sementara itu, data yang dilansir dari Tribun Gorontalo (gorontalo.tribunnews.com) (2022) menyebutkan bahwa jumlah prevalensi anak jalanan di Gorontalo pada tahun 2021 mencapai 40 orang, dan kemudian jumlah ini meningkat pada tahun 2022 menjadi 42 orang. Data ini menggambarkan bahwa kehidupan anak jalanan saat ini cukup memprihatinkan. Jika dikaitkan dengan angka kemiskinan, Gorontalo pun masih tidak terlepas dari isu kemiskinan tersebut. Akan tetapi, kondisi ini tentunya tidak terlepas dari tuntutan hidup bagi anak jalanan. Secara psikologis, Zami & Rosa (2021) melakukan screening terhadap anak jalanan, dan menemukan bahwa faktor yang menyebabkan mereka harus terjun ke jalan tidak hanya masalah ekonomi keluarga saja, tetapi masalah KDRT, terabaikan, tidak disekolahkan, ataupun kehidupan tidak layak menjadi masalah utama dalam diri anak jalanan. Bahkan Khali (2017) berpendapat bahwa saat ini anak jalanan telah mendapat etiket sebagai sampah masyarakat. Dengan demikian, gambaran etiket tentang anak jalanan justru menambah referensi bahwa anak jalanan bukan orang yang baik di mata masyarakat.

Fokus masyarakat mitra dari program ini adalah anak jalanan yang berada di Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Lokasi ini dijadikan lokus mitra karena banyak anak jalanan yang ditemui di tempat ini. Sesuai data yang diperoleh dari Dinas Sosial menunjukkan bahwa ada 44 anak jalanan yang berada di Kota Gorontalo pada tahun 2013. Data terbaru dari Dinas Sosial Kota Gorontalo menyebutkan bahwa jumlah prevalensi anak jalanan di Gorontalo pada tahun 2021 mencapai 40 orang, dan kemudian jumlah ini meningkat pada tahun 2022 menjadi 42 orang.

            Marali (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa sebagian besar anak jalanan di Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo mulai beroperasi di jalanan dari pukul 19.00 -- 23.00 WITA. Pada malam-malam tertentu misalnya malam kamis dan malam minggu waktu mereka untuk beroperasi sampai larut malam pada pukul 23.00 WITA. Hasil yang mereka dapatkan berkisar antara Rp10.000 sampai Rp.30.000 untuk per-harinya. Hasil yang mereka dapatkan sebagian mereka sisihkan untuk makan dan sebagiannya mereka tabung guna keperluan lainnya. Anak-anak yang sering melakukan pekerjaan ini beragam caranya, misalnya dengan cara menepuk- nepukkan tangan sambil bernyanyi, adapula dengan cara merengek-rengek untuk meminta belas kasih kepada orang-orang yang melintasi jalan yang mereka jadikan tempat untuk beroperasi. Perempatan jalan yang padat akan kenderaan menjadi lokasi favorit mereka untuk mencari uang. Lampu merah menjadi anugerah tersendiri. Mereka menyerbu setiap kenderaan yang berhenti. Untuk menyiasati nyanyian selesai sebelum lampu berubah warna hijau, lagu terpaksa dipangkas dan langsung masuk ke bagian refrain. Dari pengakuan beberapa anak jalanan yang ada di persimpangan jalan yang menjadi pusat lokasi PKM-PM, terkadang mereka mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari pihak-pihak tertentu. Misalnya merampas atau memalak perolehan hasil yang mereka dapatkan dan bisa sampai melukai anak-anak jalanan tersebut apabila keinginan para pemalak tidak dituruti.

            Secara psikologis, eksploitasi dan bentuk kekerasan yang mereka dapatkan tidak mendapatkan empati yang optimal dari siapapun untuk mengatasi masalah psikologis yang mereka rasakan. Tidak ada wadah yang menjadi tempat mereka berekspresi keluh kesah yang mereka rasakan. Terkadang mereka harus mendapatkan penghinaan dan kekerasan dari orang lain karena dianggap rendah dari segi statusnya.  

            Berdasarkan hasil wawancara terhadap seorang anak jalanan di Kota Selatan, mengungkapkan bahwa mereka merasa tidak ada kepedulian keluarga terhadap mereka, sehingga kehidupan bebas di jalanan menjadi pilihan mereka dalam menjalani hidup. Hal ini sejalan dengan pendapat Mugianti, dkk (2018) yang menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan anak jalanan menjadi pilihan bagi anak-anak karena faktor ingin hidup bebas, menghindari masalah dalam keluarga, kemiskinan dan konflik keluarga. Tapi tak seorang pun dari anak-anak yang mengungkapkan bahwa masalah perilaku pengasuhan anak menjadi faktor masalah psikologis anak jalanan. Sayangnya, imbas dari masalah ini membuat mereka harus terjun pada pergaulan bebas dengan memilih minum-minuman keras, dan bahkan memilih berjudi sebagai jalan pilihan.

  • Tahun 2017 tercatat berdasarkan data Dinas Sosial Kota Gorontalo terdapat 55 jiwa dari penduduk Gorontalo dikategorikan sebagai anak jalanan

    Jumlah prevalensi anak jalanan di Gorontalo pada tahun 2021 mencapai 40 orang, dan kemudian jumlah ini meningkat pada tahun 2022 menjadi 42 orang

    Masih banyak anak jalanan yang kurang mendapatkan perhatian akibat stigma masyarakat terhadap mereka

    Masalah psikologis yang dirasakan oleh anak jalan tidak tersalurkan dengan baik karena masih kurangnya wadah penyalur ekspresif mereka.

    Kondisi ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat terhadap kondisi anak jalanan rentan menyebabkan diri mereka tidak mendapat empati.

    • Melalui photovoice SHOWeD, media ini diharapkan menjadi representasi dalam menarik empatik masyarakat terhadap kondisi anak jalanan saat ini 

      Photovoice SHOWeD diharapkan menjadi solusi mengatasi masalah psikologis anak jalanan yang terjebak oleh eksploitasi orang terdekat, dan juga sebagai media perantara dalam menyuarakan apa yang dirasakan oleh anak jalanan tanpa adanya diskriminasi dan stigma masyarakat terhadap anak jalanan.

      Photovoice SHOWeD menjadi body image bagi sisi lain anak jalanan, yang bertujuan untuk mematahkan hipotesis orang terkait anak jalanan yang dipenuhi dengan kekerasan sehingga menciptakan stigma buruk bagi anak jalanan

      Sejalan dengan pendapat Baihaqi (2017), photovoice SHOWeD menjadi media praktis yang mampu melihat sudut pandang orang yang mangarahkan kehidupannya. Hal ini dapat diintegrasikan dengan kondisi anak jalanan yang membutuhkan empatik dari orang lain, memandang sisi positif anak jalanan melalui foto yang disajikan. Dengan demikian, media ini menjadi jembatan penghubung antara anak jalanan dan pemerintah atau masayarakat melalui stimulasi empatik secara psikologis terhadap anak jalanan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun