Namun hal ini tidak berlaku dimasa orde baru dengan melakukan pembatasan ketat terhadap potensi politik identitas. namun kemudian berevoluasi pada pengekangan HAM dan juga kekerasan HAM atas nama ideologi. seperti misal peristiwa Tanjung priok pada 12 September 1984.
polarisasi pasang surut politik identitas bak jamur dimusim hujan di era reformasi kembali bangkit, secara pasang surut dari 2013 ke 2018 yang menggunakan dalil agama untuk tujuan tertentu menggunakan berbagai metode kekerasan. seperti perusakan tempat ibadah, teror di tempat ibadah dan lainnya yang dipicu masalah klasik.
secara politik, ini berimbas pada kekalahan beberapa calon dari etnis tertentu di Pilkada DKI karena tercemar isu politik identitas. Sejak orde reformasi, tidak dipungkiri lahir juga beberapa pam swakarasa dan ormas yang melakukan akumulasi ideologi dan politik identitas.
Sejatinya, Pelibatan agama dalam perjalanan politik juga sudah dimulai sejak lama.
Tidak heran sebabnya adalah politik yang selalu berpijak pada kepentingan, dan gagalnya pemahaman wawasan kebangsaan setiap warga negara oleh berbagai faktor, seperti lemahnya sietem birokrasi, lembaga peradilan, kesadaran hukum, serta terkotak kotaknya masyarakat pada kultus partai, individu dan fanatisme golongan.
Semoga pada Pemilu 2024 Politik identitas bukan faktor penentu kemenangan salah satu paslon atau parpol untuk mengambil tampuk kepempinan di negeri kita, Salam Pancasila, Salam NKRI, Kita Adalah Indonesia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H