Bagaimana dengan institusi lain?. Mari kita lihat pada media sebagai alat ukur lain, wawasan utama pemimpin media adalah dua dimensi pokok, yakni manajerial usaha (perusahaan) dan manajerial redaksi. Satu dari kedua komponen itu tidak sehat, maka media akan 'sakit.' Media profesional akan membayar upah jurnalisnya secara layak dan tentu profesional, jika tidak maka kualitas produk berita juga akan mengalami masalah.Â
Kampus yang tak sehat, umumnya abai pada penggajian dosen, itu berdampak pada proses dan kualitas pengajaran. Hasilnya bisa ditebak, jika dosen berkualitas tetap bertahan maka ia akan mencari beban kerja lain, sebagai sampingan agar penghasilannya dapat menunjang tugas mengajar. Jurnalis yang dibayar tak layak, akan cari kerja sampingan.
Wawasan tentu tidak selalu identik dengan sikap profesional. Seorang dokter yang memilih untuk mengabdi pada kemanusiaan, bisa ia saja tetap bekerja profesional sesuai prosedur medis, namun dengan upaya itu, ia mengabaikan standar layanan komersial dari sisi bayaran. Dosen yang memilih tetap mengabdi pada kemanusiaan (mendidik) dengan ikhlas, tentu akan mengabaikan standar layanan komersial pada gaji atau honor.Â
Maka pada Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2024, kita bisa membaca liputan media nasional tentang nasib dosen yang dibayar tidak lebih dari Rp3 juta. Atau pada Hari Pers Nasional (HPN) yang tentu diperingati setiap tahun, menyeruak harapan dari para jurnalis akan upah layak. Tentu saja gaji/upah tidak saling berkait dengan wawasan. Tetapi para pimpinan sekolah, kampus dan media yang fakir wawasan, tak akan sampai bisa menemukan solusi dari problematika dasar itu. Wallahu A'lam.
Watampone, 13 September 2024
Zulkarnain Hamson
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H