Mohon tunggu...
Zulkarnain Hamson
Zulkarnain Hamson Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi

Saya adalah dosen dengan latar belakang jurnalis selama 27 tahun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Perempuan di Pemilu

8 September 2024   20:19 Diperbarui: 8 September 2024   20:19 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEMILIHAN Umum (Pemilu) mencatat bakal calon legislatif dari 18 Partai Politik Peserta Pemilu 2024 sebanyak 10.323. Dari total tersebut,  37,7% atau 3.896 bakal calon legislatif perempuan dan 62,3% atau 6.427 bakal calon legislatif laki-laki. Berdasar data itu, mayoritas keterwakilan Calon Anggota Legislatif (Caleg) perempuan pada 18 Partai Politik (Parpol), dalam Pemilu 2024 telah mencapai angka di atas 30 persen. Ketentuan itu juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang; Pemilu.

- - - - - - - - - - -

Dari 204 juta pemilih yang terdaftar pada Pemilu 2024, pada 6 ribu pulau di Indonesia, ditambah dengan 1,75 juta diaspora, yang berkategori dapat menggunakan suara (hak memilih) presiden, wakil presiden, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat nasional dan daerah. Sekira 113,6 juta orang adalah generasi milenial dan generasi Z, atau mencakup sekira 56% dari total pemilih, dan perempuan menjadi paling banyak dibandingkan laki-laki. Terdapat 102 juta lebih pemilih perempuan atau 50,09% dari total pemilih tetap. Ketua Bidang Organisasi dan Kerjasama PP Nasyiatul ‘Aisyiyah periode 2016-2022, Nurlia Dian Paramita memberi penekanan pentingnya keterlibatan aktif perempuan dalam Pemilu 2024.

Bagaimana perempuan dalam Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada), dari data 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 101 perempuan menjadi kandidat. 49 perempuan maju sebagai bakal calon kepala daerah dan 52 lainnya terdaftar sebagai bakal calon wakil kepala daerah. Jumlah itu setara 8,8 persen dari total 574 pasangan bakal calon terdaftar. Pada Pilkada 2015 terdapat 7,9 persen calon perempuan. Sementara pada Pilkada 2017 tercatat hanya 7,1 persen perempuan dari total calon. Figur perempuan kepala daerah atau wakil tidak diidentikkan sebagai pemimpin yang lebih bersih atau lebih kompeten. Tersangkutnya sejumlah perempuan kepala daerah dalam kasus korupsi menjadi faktor yang turut memengaruhi penilaian publik.

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan mayoritas responden tidak permasalahkan peran perempuan di bidang politik. Bahkan, sebanyak 81,5 persen tidak mempersoalkan daerahnya dipimpin perempuan. Pemilih tak lagi mementingkan jenis kelamin, tetapi lebih pertimbangan kemampuan dan latar belakang sosial politik mereka. Dalam even Pemilu, perempuan yang menjadi kandidat kepala daerah juga dituntut menunjukkan kemampuannya sebagai pemimpin untuk merebut hati pemilih. Mari lihat bagaimana perjuangan politisi Tjhai Chui Mie, perempuan pertama memimpin Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Sebelum terpilih menjadi kepala daerah, Tjhai Chui Mie aktif di kegiatan sosial dan menjadi Ketua DPRD Singkawang. Rekam jejaknya itu yang membuat konstituen memilihnya.

Bagaimana dengan Sulawesi Selatan (Sulsel)?, catatan sejarah membukukan nama Indah Putri Iriani sebagai Bupati Luwu Utara, atau perempuan pertama yang menjabat kepala daerah. Selanjutnya sejumlah wakil yakni, wakil Wali Kota Makassar, wakil Bupati Maros, dan Wakil Bupati Sinjai. Pada penelitian yang saya bukukan 10 tahun lalu, banyak mengungkap karakter pemilih. Wajib pilih laki-laki cenderung ke perempuan calon, dan sebaliknya pemilih perempuan justru memilih laki-laki calon. Tentu data itu tidak bisa digunakan saat ini, karena konstelasi politik dan berbagai indikator ikut andil memengaruhi kecenderungan pemilih. Bahkan untuk isu juga sangat dinamis.

Kita telah berada di pintu Pilkada 2024, tak lama lagi akan diminta masuk memberikan suara pada bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS), satu suara sangat berarti, memperdebatkan jenis kelamin, itu hal yang tidak lagi substansial, bagaimana suara kita itu bisa terwakili, aspirasi juga sejumlah harap pada visi dan misi calon dalam merancang layanan publik. Sekalipun realitas menggambarkan bahwa kampanye dan isinya tidak banyak mempengaruhi keterpilihan, namun tidak ada salahnya kita tetap cerdas dan jangan emosional. Kesempatan menilai rekam jejak dan tidak seharusnya terkontaminasi oleh provokasi, kampanye hitam atau agitasi pihak tertentu, sebelum menetapkan pilihan. Kita perlukan pemimpin yang bisa membawa kita damai, aman, tenang dalam bekerja dan berusaha, tak menguras energi kita dalam konflik, juga tekanan preman yang dipelihara.

Watampone, 31 Agustus 2024

Zulkarnain Hamson

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun