MELANJUTKAN kepemimpinan sebelumnya tidak serta merta bisa dikategorikan dinasti. Syaratnya tidak bertalian hubungan darah, atau perkawinan. Sebelumnya diatur dalam Undang-Undang (UU), namun alasan kesetaraan dan keadilan juga tentu demokrasi maka pasalnya tidak lagi berlaku. Maka mulailah Pilkada berisi orang-orang dengan status keluarga ikut bermain, dengannya politik dinasti, maka lahirlah dinasti politik.
- - - - - - - - - -
Diawali munculnya polemik dalam Undang-Undang (UU) Nomor: 8 tahun 2015, yang mengatur tentang: Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada). yakni  ketentuan Pasal 7 huruf r beserta penjelasannya, yang  mengatur syarat calon Kepala Daerah; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana (incumbent). Dengan penjelasan yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana adalah: "Tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu; ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Semula aturan itu dinilai aktifis prodemokrasi cukup baik dan efektip menjaga kemurnian proses politik dalam pergantian kepemimpinan baik nasional maupun lokal. Terjadi gugatan, maka Pasal 7 itu tidak lagi berlaku, dan dinilai amat sangat berhasil membuka sekat, sekaligus menciptakan ruang gerak politik lebih luas bagi sekelompok elit politik lokal dan nasional, demi menjaga hasrat berkuasa (memimpin) daerah. Apa saja yang tidak terkendali bisa menimbulkan efek negatif. Kekuasaan yang dijalankan secara turun temurun, sekalipun proses administratif berjalan demokratis, tetapi akan bersoal dari sisi substansi. Uraian panjang bisa dilihat dari keterlibatan unsur kekuasaan petahana, umumnya dipakai tanpa rasa takut apalagi malu.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Pilkada 2014, ada sekira 60 kepala daerah dan wakil atau 11% dari jumlah daerah otonom menerapkan politik dinasti. Angka itu mengalami peningkatan menjadi 117 kasus politik dinasti atau 21,5% dalam Pilkada 2018. Dilansir BBC Indonesia 5 Desember 2020, setidaknya 29 orang istri kepala daerah akan bertarung sebagai peserta Pilkada tahun 2020. Jika terpilih, menurut pakar politik, suami mereka akan tetap memegang kekuasaan di daerah itu, walau secara informal. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu & Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, satu alasan yang paling jelas mengapa orang-orang itu dicalonkan adalah karena mereka menguntungkan secara elektoral.
"Keluarga petahana punya insentif lebih. Modal kapital dan tentu sosialnya sudah banyak," kata Titi seperti diberitakan Tirto, Rabu, 12 Agustus 2020. Menurut Titi, kontribusi utamanya pragmatisme untuk menang karena memanfaatkan popularitas, lanjutnya. Pencalonan mereka tak bisa dilepaskan dari kecenderungan menciptakan, melanggengkan politik dinasti. Fenomena itu menunjukkan kepada kita bahwa kaderisasi dan rekrutmen partai tidak berjalan dengan baik. Partai tak punya stok kader yang lain untuk bisa diusung ke pemilihan. Maka petahana mendominasi pengusulan calon, juga tentu memanfaatkan semua jejaring kekuasaan untuk bisa menempatkan orang pilihan sebagai pelanjut.
Sekalipun dinasti politik, rentan terkait isu gender, tak bisa hanya tendensius terhadap perempuan saja, tak hanya istri, tapi juga anak hingga menantu dan keponakan. Politik kekerabatan tidak ditopang oleh kaderisasi yang bagus, kemampuan politik, dan kepemimpinan yang baik, hanya akan mampu melahirkan pelanjut kekuasaan dan berpotensi menyuburkan tindak korupsi. Praktik korupsi politik akan masif, hal itu diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Dirinya menilai, kasus terbaru menyeret Bupati Kapuas dan istrinya, menandakan praktik korupsi politik masih berlangsung. Kasus itu, tidak hanya dilakukan aktor politik, tapi hasil korupsinya digunakan untuk tujuan kepentingan politik pribadi. "Dana korupsi diduga untuk mendanai kegiatan politik, seperti kontestasi Pilkada, pemilu legislatif dan pembiayaan lembaga survei," kata Kurnia 29 Maret 2023.
Mengutip pakar Otonomi Daerah (Otoda), Profesor Djohermansyah Djohan dalam sesi webinar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat, 5 Juli 2024. "Pilkada 2024, terdapat 175 kasus atau 32% politik dinasti. Artinya, kasus politik dinasti dalam Pilkada terakhir sudah mencapai satu per tiga dari keseluruhan daerah otonom. "Sesudah suaminya, nanti istrinya atau anaknya, atau menantunya. Ini yang kita musuhi ketika kita berada di Orde Baru dulu," kata Prof. Djohermansyah. Sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota akan menggelar Pilkada 27 November 2024 nanti. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, politik dinasti diperkirakan semakin 'mewabah' (tumbuh pesat). Pertanyaannya apakah calon itu punya kapasitas?
Watampone, 23 Agustus 2024
Zulkarnain Hamson
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H