Mohon tunggu...
Zulkarnain Hamson
Zulkarnain Hamson Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi

Saya adalah dosen dengan latar belakang jurnalis selama 27 tahun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Derrida untuk Judy

21 Juli 2024   11:41 Diperbarui: 21 Juli 2024   11:43 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TULISAN saya pekan kemarin mendapat tanggapan Mas Judy Rahardjo seorang kawan yang datang dari masa lalu, memilih hidup berkalang kajian, advokasi masyarakat dan lingkungan, berkelindan dengan buku-buku baru, dalam bingkai ideologi lama. Kehidupan di luar tembok dunia akademik, tidak membuatnya 'fakir' ilmu. Padanya saya belajar tentang 'perselingkuhan' dunia ilmu dan 'teganya' birokrasi pemerintah dalam mengatur aransemen kehidupan sosial.

--------------

Judy, 'memancing' saya untuk keluar dari cara berfikir normatif tentang realitas sosial, ada kesan sedikit memaksa sepertinya. Tetapi tak masalah karena tekanannya yang sopan membuat saya harus kembali membuka literatur, karena gugatan Mas Judy, terlampau berat, terlebih saya tak datang dari latar filsafat. "Saya menunggu telaah mengenai Generative Artificial Intelligence dalam proses demokrasi. Idealnya, inovasi digital berjalan seiring dengan inklusi." Demikian kalimat yang ditulisnya pada dinding Facebook saya, karena terbagi atas dua penggal kalimat besar, maka saya memilih kalimat akhir, yakni "Inovasi digital dan inklusi."
Untuk menghadapi Mas Judy, saya 'menyeret' nama filsuf Jacques Derrida alumnus Ecole Normale Superieure di Paris, tempat ia belajar filsafat dan terpengaruh berbagai pemikir, termasuk Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Friedrich Nietzsche. Derrida diyakini banyak dipengaruhi tradisi filsafat fenomenologi, eksistensialisme, strukturalisme dan linguistik. Saya terus 'meraba' apa yang diinginkan Judy melalui pertanyaannya. Mungkin maksudnya; Inklusi Digital, yang diera digital, akses terhadap teknologi dan internet menjadi krusial. Banyak orang di daerah terpencil atau dengan sumber daya ekonomi terbatas tidak memiliki akses yang memadai, menciptakan kesenjangan digital yang memperburuk eksklusi. Semoga saja benar.
Saya berhenti sejenak, di pelataran Masjid Akbar, Lappariaja (Leppangeng) Kabupaten Bone. Jarak menuju Kota Makassar, masih terbilang jauh 110 kilometer, anak-anak dengan suara nyaring sedang membaca Al Qur'an di pengajian rutin ba'da Ashar. Suara mereka nyaring berirama. Sembari rehat mendinginkan mesin mobil, saya membaca ulang pemikiran dalam tulisan Judy. Dalam penelusuran saya setidaknya terdapat 8 masalah besar jika kita membicarakan inklusi, diantaranya; Ketidakadilan Sistemik, Hak-hak Penyandang Disabilitas, Migrasi dan Pengungsi, Inklusi Digital, yang sudah saya tuliskan di atas, Kesenjangan Ekonomi, Akses pada Pendidikan, Kurangnya Representasi, yang terakhir Diskriminasi dan Ketidaksetaraan.
Mas Judy, dengan memakai pemikiran Derrida, saya terus mencoba memahami implikasi yang signifikan dalam memahami situasi media baru, terutama dalam konteks digital dan internet. Ada beberapa isu utama, diantaranya; ketidakstabilan makna, Derrida menunjukkan bahwa makna tidak pernah tetap dan selalu dalam proses perubahan. Dalam media baru, informasi itu terus-menerus diperbarui dan dikomentari, makna suatu peristiwa atau pesan bisa berubah dengan cepat tergantung pada konteks dan interpretasi yang diberikan oleh aktor media. Belum lagi kalau kita mau mencermati "dekonstruksi narasi" dimana media baru sering kali dipenuhi dengan berbagai narasi yang saling bertentangan (kontradiktif).
Dengan pendekatan dekonstruksi, saya dan Judy dapat menganalisis bagaimana narasi itu dibangun, di mana terdapat ketegangan atau kontradiksi, dan bagaimana mereka dapat dipahami dengan cara yang berbeda. Ada juga kata 'difference' (proses penundaan dan perbedaan) dalam pemahaman makna. Dalam konteks media baru, informasi sering kali terfragmentasi dan disebarkan dalam potongan-potongan kecil, yang masing-masing dapat memiliki makna yang berbeda tergantung pada bagaimana mereka digabungkan atau diinterpretasikan. Masih juga ditambah pluralitas dan multivokalitas, dimana media baru membawa banyak suara. Pendekatan Derrida terhadap pluralitas dan keragaman makna membantu kita memahami bagaimana berbagai perspektif dapat berinteraksi sekalipun sering kali bertentangan satu sama lain.
Terakhir kekuasaan dan kontrol, Derrida mengulas  bagaimana bahasa dan teks digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam media baru, kekuasaan dapat dilihat dalam cara platform media sosial mengendalikan aliran informasi, algoritma yang menentukan apa yang kita lihat, dan tentu saja bagaimana narasi dominan dapat menekan suara minoritas. Terakhir catatannya tentang Post-Truth dan Disinformasi. Dalam media baru, identitas kita sering kali dibentuk oleh interaksi online dan representasi digital. Dekonstruksi dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana identitas dibentuk, diubah, dan dipertanyakan dalam ruang digital. Demikian Mas Judy, dari 'kacamata' Derrida, mungkin saja kompleksitas dan dinamika inklusi bisa lebih dipahami, tersisa pertanyaan bagaimana Generative Artificial Intelligence bisa didayaguna menjawab tantangan inklusi.


Warung Mandiri, Camba Maros,  Sulsel, 17 Juli 2024
Zulkarnain Hamson
Saudaramu yang masih 'ngelmu'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun