Mohon tunggu...
Zulkarnain Hamson
Zulkarnain Hamson Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi

Saya adalah dosen dengan latar belakang jurnalis selama 27 tahun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketidakadilan

20 Juli 2024   08:02 Diperbarui: 20 Juli 2024   08:02 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KUMANDANG azan magrib baru saja selesai, cahaya merah saga mewarnai langit, gugusan pegunungan Camba Kabupaten Maros, seperti Piramida di kejauhan, "Hidup ini seperti kegelapan, dan hanya akan terang pada hati yang jernih" begitu kata sastrawan Mesir, Nagub Mahfouz. Peraih penghargaan Nobel pada era 1988 itu adalah pejuang keadilan.

-----------------

Sebuah pesan pendek masuk di jaringan WhatsApp saya, "Dinda Zul tolong bantu saya, rasanya mau bunuh diri, saya sudah dizalimi bertahun-tahun" demikian bunyi pesan pendek di layar ponsel saya. Membaca pesan itu pikiran saya pulang ke wajah sahabat, kakak tingkat semasa kuliah, Elsye Ticoalu ia keluarga (cucu) Kolonel Benyamin Thung, yang kesohor itu, beliau pejuang kemerdekaan yang mati melawan pasukan Koloni Belanda, di perbatasan Gowa-Makassar. Pesan WhatsApp saya balas, "Selesai magrib saya telpon kak," ujarku. Seperti Mas Judy Rahardjo dan masih banyak lagi lainnya, kawan-kawan semasa kuliah masih jadi keluarga kecil yang terus merawat ikatan kekeluargaan diantara kami, alumni komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Hasanuddin era '80-an.

Mushollah depan warung Mandiri Camba, tempat menyantap mie rebus dan burasa 'malunra' (Bugis: lezat bersantan) sesak dipenuhi parkiran kendaraan, sedikit tak beraturan, kedai rehat poros utama jalan Kabupaten Maros menuju Bone, Soppeng, Sinjai dan Wajo itu memang selalu ramai. Harga makanan pas untuk kantong mahasiswa membuatnya selalu padat. Saya membuka pesan Kak Elsye, sebaris kalimat panjang seperti meliuk-liuk, menceritakan kisah tragis pencarian keadilan di negeri Pancasila bernama Indonesia, dan sialnya itu di kota bernama Makassar, "Saya mau ketemu wali kota, maksud apa ia menahan eksekusi rumah warisan kami," tulisnya. Mata saya nanar menatap ponsel yang baterainya mulai soak.

Naik ke mobil, saya memasang sabuk pengaman, ada peringatan Polisi sedang melakukan operasi penertiban pengguna jalan, salah satunya safety belt. Saya teringat diskusi kecil dengan Muttaqin Azikin aktifis tata ruang kota, pemikir, pegiat literasi lingkungan yang sangat religius, pikirannya mirip Rosa Parks seorang aktivis hak-hak sipil yang terkenal karena tindakannya pada 1 Desember 1955 di Montgomery, Alabama, Amerika Serikat (AS). Kisah Rosa menjadi inspirasi bagi pejuang hukum, ia seorang aktivis dalam gerakan hak-hak sipil, terkenal dalam cerita "insiden bus Montgomery." Saat dirinya menolak memberikan kursi di bagian "kulit hitam" dari bus kota, kepada penumpang kulit putih, sebagaimana diharuskan oleh hukum rasial segregasi saat itu.

Sopir bus memanggil polisi, dan Parks ditangkap serta didenda. Peristiwa itu mengundang reaksi protes dan boikot. Penangkapan Rosa memicu aksi boikot Bus Montgomery, dipimpin oleh Martin Luther King Jr. Berlangsung selama 381 hari. Boikot itu melibatkan ribuan warga Afrika-Amerika yang menolak menggunakan bus kota sebagai protes terhadap segregasi rasial. Hasilnya protes menarik perhatian nasional internasional terhadap masalah rasial. Mahkamah Agung AS, akhirnya memutuskan segregasi di bus kota tidak konstitusional. Rosa menjadi simbol perlawanan ketidakadilan rasial dan dikenang sebagai aktivis pejuang sosial sepanjang hidupnya, menerima banyak medali penghargaan, meninggal dunia pada 24 Oktober 2005, tetapi sebagai "Ibu Gerakan Hak-Hak Sipil" terus dihormati dan dikenang.

Saya masih dalam perjalanan dari daerah, seingat saya 10 Muharram, Kak Elsye mengirim pesan penuh kegembiraan, mengabarkan 18 Juli 2024, jam 09:00 WITA, rencana PN Makassar, akan mengeksekusi rumah warisan keluarganya itu. Putusan banding Mahkamah Agung (MA) sudah beberapa tahun tak bisa dilaksanakan, setelah tertunda oleh PN Makassar, 12 Desember 2022, dan pergantian ketua, maka jadwal baru keluar. Tentu kalau batal karena kembali dihalangi wali kota, perlu telaah hukum yang lebih serius, dalam kaitan apa 12 putusan yang dimenangkan bisa ditahan hanya dengan selembar surat. Bagaimana azas kepatuhan pada hukum?. Dalam hati saya, mungkin Ketua PN Makassar yang baru, mau memakai momentum Hari Keadilan Internasional. Alhamdulillah, masih ada abdi hukum yang konsisten.

Signal di ponselku timbul tenggelam, kadang kuat setelah itu melemah, seperti layaknya penegakan hukum kadang tajam, kadang tumpul. Belokan tebing batu Camba, sedang diperlebar, jangan harap ada signal di kawasan 'kelok seribu' yang berjurang terjal itu. Tetapi telpon kembali berdering, rupanya Kak Elsye menelpon. "Sabar Kak, jangan putus asa, kalau ketua Pengadilan Negeri Makassar menunda karena alasan surat dari wali kota, itu bisa dimintai penjelasannya," kata saya. "Tetapi ini sudah keterlaluan, saya memenangkan 12 persidangan, rumah kami itu Sertifikat Hak Milik (SHM), warisan dari ibu saya, kenapa masih dihalangi pak wali," ujarnya sambil menangis. Saya ikut sedih, hidup ini seperti kayaknya lubang jalan Hertasning, tambal sulam pakai paving blok tetapi tetap bisa dijalani. Semoga Tuhan menjawab doa Kak Elsye, doa orang-orang teraniaya.

Makassar, 18 Juli 2024

Zulkarnain Hamson

Penyuluh Anti Korupsi Utama BNSP

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun