SIAPAKAH bupati dan gubernur yang harus kita semua pilih?. Kalau tak punya visi membangun daerah sebaiknya kita datangkan saja dari luar. Mungkin pernyataan warga Kalimantan Selatan, Banua Lawas, bisa jadi renungan. Mereka tak hanya protes dengan kata-kata, mereka juga menolak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), karena kebencian pada janji-janji manis gubernur dan bupati, namun setelah dua periode tidak ada yang dibuktikan.
- - - - - - - - - - - - - -
Sikap politik Golongan Putih (Golput) itu dipicu kebencian pada janji-janji manis calon pejabat saat kampanye. Setelah terpilih jangankan perbaikan jalan muncul di desa saja sudah tidak. Inilah warna demokrasi kita di era modern. Kebanyakan pejabat publik asyik menikmati citra lewat media sosial, dan lupa bahwa di tengah masyarakat gejolak protes 'meroket' seperti istilah Presiden Jokowi, ekonomi meroket.Â
Protes itu kadang diselingi dengan menanam pisang pada jalan berkubang. Ada juga yang menikmati genangan sambil memakai baju renang. Itulah realitas yang sulit dicerna akal, mengapa antara harapan dan kenyataan selalu berjurang, pada sisi lain angka pinjaman luar negeri naik tajam.
Jangankan kabupaten yang jalan dalam kota terkadang seperti medan off-road, terminal kota yang dibanggakan sebagai kota internasional beda tipis dengan kuburan umum, rumput tinggi, tembok menua, sampah berserakan, dan mobil ambil penumpang di jalan raya. Semua itu tidak guna diprotes karena hanya akan jadi sasaran bully para penjaga yang dibayar dari pajak rakyat.
 Kenapa bisa terjadi? Karena dukungan saat Pemilu Langsung Kepala Daerah (Pemilukada) suara rakyat sudah dibeli. Karena dibeli urusan suka atau tidak suka, bukan lagi masalah. Kata Profesor Ryass Rasyid, kepada saya 25 tahun lalu, "Anda akan saksikan para raja-raja kecil berkuasa di daerah."
Mari kita bersepakat, kalau Pemilukada nanti, kita tinggalkan saja calon yang 'pembual' hanya mampu menebar janji, yang berkuasa tanpa ada kemauan mendengar aspirasi masyarakat. Kita tinggalkan pejabat yang sok pintar dan sok kuasa, karen hanya buat kita sakit hati.
 Bagaimana kalau mereka menghamburkan uang "Ambil saja dan kasi ke fakir miskin dan peminta-minta yang tiap hari mulai memenuhi jalanan." Tiada yang bisa kita harap dari para pengejar kekuasaan, mereka hanya sibuk melayani dirinya. Seperti kata pemimpin Sulsel era sebelumnya "Kekuasaan hanya melayani dirinya." Mereka lupa pada orang-orang yang memilihnya.
Tahun 1999 saya duduk di lobby hotel salah satu kabupaten di Sulsel, bersama H.M. Amin Syam (kini almarhum) ketika itu menjabat sebagai Ketua DPRD Sulsel. Katanya kepada saya "Kesempatan itu hanya datang satu kali, maka jika diberi amanah seriuslah dalam bekerja untuk orang-orang yang memberi amanah."
Waktu berjalan beberapa waktu kemudian almarhum terpilih sebagai Gubernur Sulsel. Saya tak lagi berjumpa sampai menjelang akhir jabatannya. Suatu saat saya berkesempatan diundang wawancara dan diterima di ruang tamu gubernuran. Didampingi Ketua PWI Sulsel Zulkifli Gani Ottoh dan pak Syahrir Makuradde (almarhum), saya diterima untuk wawancara eksklusif dengan gubernur.