Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal dan salah satu Pahlawan Nasional di Indonesia. Kita bisa menyimpulkan, jika ada yang menyatakan, bahwa “semua agama adalah jalan kebenaran”, saat itu dikepalanya telah hilang konsep iman dan kufur, konsep tauhid dan syirik. Baginya, tiada penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr atau jus kurma; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang; tiada beda antara nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi sesama manusia. Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada; sudah diganti dengan SATU AGAMA: “agama global”, “agama universal”, “agama kemanusiaan”, atau “agama cinta”.
Persaudaraan global antar-sesama tanpa memandang agama menjadi misi terpenting dari kelompok lintas-agama semacam Theosofi dan Freemason. Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 menulis: "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.
Inikah yang dituju oleh Film “?” Jangan menuduh! Silakan dicermati dan direnungkan!
***
Masih ada sosok lain yang diidolakan dalam film “?”. Namanya, Menuk. Dia seorang muslimah, berjilbab pula. Menuk bekerja di sebuah retoran China. Bermacam makanan dijual di sana, termasuk babi. Dengan mencolok kepala babi ditampilkan. Kata si empunya restoran, bahan babi dan bahan lain dipisahkan.
Menuk diterima bekerja dengan baik di restoran ini. Ia diberi kebebasan ibadah. Dalam salah satu segmen, ditayangkan Menuk sedang shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran juga sedang bersembahyang sesuai dengan agamanya.
Pesan dari pemunculan sosok Menuk ini cukup jelas: inilah contoh toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di sebuah restoran yang menjual babi.
Syukurlah, di akhir cerita, anak pemilik restoran bersedia memeluk Islam. Ini tentu baik, dalam perspektif Islam. Tetapi, apakah perlu harus melalui proses bekerja di sebuah restoran yang menjual babi?
Tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan memberi nafkah keluarga adalah baik. Tetapi, cara yang ditempuh pun harus baik. Banyak muslimah yang gigih membantu ekonomi keluarganya dengan bekerja keras dalam berbagai bidang profesi, dan juga toleran dengan yang lain. Tapi, apakah Menuk sosok Muslimah yang ideal untuk ditampilkan?
Walhasil, Film “?” karya Hanung Bramantyo ini membawa pesan besar yang terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama. Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar dan -- kalau perlu -- dibuang kapan saja! Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan demi perdamaian.
Akhirul kalam, di era globalisasi dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam wujud yang menawan dan menghibur, ada baiknya kita merenungkan satu ayat al-Quran: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu." (QS 6:112)
Juga, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Bersegaralah mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan harta-benda dunia.” (HR Muslim).Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011