Mohon tunggu...
Zulkarindah Fida Roini
Zulkarindah Fida Roini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah mahasiswi Prodi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

Saya memiliki hobi travelling, backpacker, dan berolahraga. Olahraga favorit saya adalah bulu tangkis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Isu Ekowisata: Penerapan Prinsip Ekowisata di Indonesia

6 Desember 2022   00:12 Diperbarui: 6 Desember 2022   00:14 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Kawah Ijen (Sumber: instagram.com/kawahijenindonesia)

Indonesia sangat berpotensi di sektor pariwisata. Karena lokasi dan iklimnya, Indonesia menjadi negara yang strategis dan memiliki kekayaan flora-fauna yang unik. Apalagi setiap pulaunya memiliki panorama sangat indah yang mana mampu menjadi daya tarik wisatawan asing maupun domestik.Salah satu jenis wisata yang memanfaatkan alam yaitu ekowisata. Menurut The International Ecotourism Society (2015) ekowisata merupakan perjalanan bertanggung jawab ke daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat lokal dan melibatkan interpretasi dan pendidikan. Atau ekowisata juga dapat didefinisikan sebagai kegiatan wisata berbasis alam yang bertanggung jawab baik secara ekologis maupun sosial serta mendorong apresiasi terhadap lingkungan dan orang lain (Demit, et al, 2011). Berdasarkan definisi tersebut, ekowisata merupakan jenis wisata yang memanfaatkan ekologi sebagai unsur daya tariknya. Menurut KBBI ekologi memiliki definisi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan alam sekitarnya.

Ekowisata memiliki karakteristik dan konsep yang berbeda dibandingkan dengan jenis pariwisata lain. Menurut Danamik et al.,(2006) terdapat tujuh prinsip yang harus dipegang oleh setiap industri ekowisata. Yaitu:

1.   Mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.

2.   Membangun kesadaran serta penghargaan atas lingkungan dan budaya dengan tujuan wisata.

3.   Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya.

4.   Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.

5.   Memberikan keuntungan finansial serta pemberdayaan masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal.

6.   Memberikan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan, dan politik daerah tujuan wisata.

7.   Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja dalam arti memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata.

Prinsip-prinsip tersebut apabila diterapkan akan membawa dampak positif bagi semua unsur yang terkait. Termasuk lingkungan, budaya, dan masyarakat lokal. Namun dalam penerapannya masih terdapat beberapa isu yang menjadi kritik. Keberadaan ekowisata memang memiliki orientasi pada konservasi. Akan tetapi, sebagai sebuah bisnis wisata aspek ekonomi juga menjadi pertimbangan ekowisata untuk mendukung sustainabilitynya. 

Isu ini berkaitan dengan penerapan prinsip ekowisata poin pertama. Yang mana ekowisata dituntut untuk melestarikan lingkungan dan budaya dengan memberikan dampak seminimal mungkin terhadap keduanya. Richardson dan Fluker (2004) menyebutkan terdapat 3 dampak yang ditimbulkan pariwisata terhadap lingkungan. Ketiga dampak tersebut yaitu:

1.   Implikasi penggunaan transportasi sebagai sumber polusi.

2.   Dampak pembangunan fasilitas pariwisata.

3.   Dampak pengoperasian pariwisata yang memberikan tekanan pada lingkungan.

Sejalan dengan prinsipnya, ekowisata tentu seharusnya tidak memberikan dampak ke lingkungan seperti tiga poin tersebut. Salah satu ciri dari ekowisata untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan adalah dengan menerapkan batas jumlah kunjungan berdasarkan carrying capacity suatu destinasi. Karena terdapat teori semakin banyak wisatawan yang berkunjung maka potensi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan semakin besar. Sayangnya statement ini berbanding terbalik bila dinilai melalui sudut pandang ekonomi. Yang mana semakin banyak kunjungan, pendapatan yang diperoleh semakin tinggi. Maka dari itu, dalam praktiknya, masih ada ekowisata yang tidak berjalan sesuai dengan prinsip ekowisata sehingga memberi dampak pada lingkungan. Hal itu dapat disebabkan oleh rendahnya kesadaran dan pengetahuan akan konsep ekowisata. Kurangnya pemahaman akan konsep pariwisata oleh pengelola bisa merubah orientasi ekowisata menjadi ekonomi sentris seperti jenis wisata lainnya. 

Sebagai contoh analisis terhadap isu ini, kita bisa mengamati salah satu destinasi ekowisata terkenal di Indonesia yaitu Taman Wisata Alam Kawah Ijen yang berada di Jawa Timur. TWA Kawah Ijen mengusung konsep ekowisata dan minat khusus. Sebagai destinasi ekowisata, maka TWA Kawah Ijen memiliki batas jumlah pengunjung yang ditetapkan. Penetapan tersebut agar wisatawan bisa terkontrol dengan baik sehingga kerusakan lingkungan akibat aktivitas wisata dapat diminimalkan. Namun sayangnya, dilakukannya penarikan retribusi di TWA Kawah Ijen diorientasikan untuk perolehan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal tersebut menyebabkan destinasi ini bergantung pada jumlah kunjungan wisatawan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Alhasil, TWA Kawah Ijen berubah menjadi destinasi pariwisata massal. Padahal, ekowisata sangat berkebalikan dengan pariwisata massal. Yang mana pariwisata massal lebih mengutamakan keberlanjutan ekonomi sedangkan ekowisata mengutamakan konservasi ekologi.

Blue Fire Kawah Ijen (Sumber: instagram.com/kawahijenindonesia)
Blue Fire Kawah Ijen (Sumber: instagram.com/kawahijenindonesia)
TWA Kawah Ijen memiliki daya tarik andalan berupa blue fire. Keberadaan blue fire ini menjadi salah satu motivasi wisatawan mengunjungi Kawah Ijen. Apalagi blue fire  Kawah Ijen sempat viral dan trending sehingga banyak penonton yang penasaran dan berbondong-bondong ke Kawah Ijen. Sampai sekarang pun eksistensi blue fire masih populer. Alhasil wisatawan yang berkunjung ke Kawah Ijen semakin banyak. Tentunya hal ini berdampak positif bagi perekonomian Kawah Ijen. Namun, sebagai destinasi ekowisata, apakah hal ini berdampak positif. 

Pada topik ekowisata, yang kita cermati haruslah lebih mengacu pada dampak destinasi wisata terhadap lingkungannya. Apakah destinasi tersebut berhasil menjalankan misi konservasinya. Seberapa besar dampak yang dihasilkan dari banyaknya wisatawan yang berkunjung ke TWA Kawah Ijen. Dampak terhadap lingkungan pertama yang ditimbulkan dari kedatangan wisatawan yaitu polusi udara yang diakibatkan oleh transportasi bermotor yang digunakan wisatawan. Polusi udara disebabkan oleh asap kendaraan bermotor yang keluar dari knalpot dan berakibat pada meningkatnya emisi karbon. Selain itu transportasi juga menciptakan polusi suara yang disebabkan oleh banyaknya suara kendaraan dan klakson yang dibunyikan. Selain itu, karena semakin banyak wisatawan yang datang ke Kawah ijen, jalan menjadi lebih crowded.

Dampak kedua berkaitan dengan perubahan struktur alami Kawah ijen akibat perbaikan infrastruktur. Semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung, destinasi dituntut untuk menyediakan fasilitas dan amenitas yang layak. Maka dari itu dibangun beberapa bangunan permanen, misalnya toilet. Padahal pemakaian semen dan bangunan permanen bertentangan dengan konsep ekowisata. Selain itu fasilitas yang dibangun juga menyebabkan adanya permasalah lingkungan. Misalnya bangunan yang dibangun di tebing menghambat jalur air dan menimbulkan sedimentasi sehingga bisa mengakibatkan longsor dan erosi. Pagar pengaman yang dipasang permanen di jalur pendakian juga menyebabkan longsoran-longsoran kecil di sisi jalan.

Jalur Pendakian Gunung Kawah Ijen (Sumber: https://images.app.goo.gl/ijXQckdyh2Jb6Eg1A)
Jalur Pendakian Gunung Kawah Ijen (Sumber: https://images.app.goo.gl/ijXQckdyh2Jb6Eg1A)
Dampak ketiga adalah adanya tekanan terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh atraksi wisata yang memanfaatkan sumber daya alam langsung. Di Kawah Ijen terdapat atraksi wisata tracking. Wisatawan berjalan sepanjang jalan pendakian hingga sampai ke puncak. Ketika jumlah wisatawan yang berkunjung melebihi kapasitas jalan pendakian, maka daya dukung alam akan menurun. Maka dari itu sangatlah penting untuk melakukan pembatasan jumlah wisatawan.

Dampak keempat adalah permasalahan sampah. Kemajuan Kawah Ijen sebagai destinasi diimbangi pula dengan kesempatan kerja di bidang jasa seperti food and beverage. Namun keberadaan rumah makan atau restoran pastinya menghasilkan limbah. Limbah fnb tidak semuanya organik. Ada juga yang sulit teruraikan. Selain itu limbah toilet dan sampah yang dihasilkan wisatawan juga menambah permasalahan terkait pencemaran lingkungan di Kawah Ijen.

Berdasarkan uraian di atas, dampak-dampak lingkungan yang terjadi bisa diminimalisir lagi apabila semua komponen mendapat pemahaman akan konsep ekowisata yang benar. Pengelola akan lebih berhati-hati dalam mengelola destinasi dan wisatawan maupun masyarakat lokal yang terlibat akan lebih bijak lagi dalam beraktivitas. Sebenarnya, di masa sekarang ini tingkat kesadaran lingkungan dan konservasi di masyarakat semakin meningkat diikuti dengan perkembangan teknologi. Media sosial dijadikan ajang kampanye keharusan menjaga lingkungan. Maka dari itu, peluang peminat ekowisata semakin banyak pula. Wisatawan yang berkunjung harus paham terlebih dahulu apa itu ekowisata agar kegiatan yang dilakukan di destinasi sejalan dengan konsep ekowisata.

Destinasi ekowisata harus meningkatkan performa visitor managementnya sebagai persiapan menghadapi peningkatan jumlah wisatawan. Batasan jumlah pengunjung harus lebih ditegaskan. Hal ini diperlukan sebagai upaya meminimalisir dampak terhadap lingkungan. Adanya visitor management juga bisa mempermudah pengelola mengawasi aktivitas wisatawan. Selain itu setiap destinasi ekowisata harus memperhatikan dan menganalisis lingkungannya terlebih dahulu untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan dampak yang muncul. Untuk wisatawan dan masyarakat lokal juga hendaknya mendapatkan pemahaman tentang ekowisata melalui sosialisasi. Harapannya, setiap komponen dapat dengan bijak berperilaku dan tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip ekowisata.

Anonim. (n.d.). Retrieved from https://eprints.umm.ac.id/40614/3/BAB%20II.pdf

Baroroh, K. (2019). Pembelajaran berbasis masalah ekowisata pada mata pelajaran ekonomi SMA. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, 16(2), 69-80.

Fennell, D. (2008). Ecotourism: Third Edition. Ney York: Taylor & Francis e-Library.

Pitana, I. (2009). Gde dan I Ketut Surya Diarta. Pengatar Ilmu Pariwisat, Penerbit Andi, Jakarta.

Putri, A. T. (2018, Januari 8). Besar Potensi Ekowisata Indonesia Tidak Disokong Optimalisasi. Retrieved from kompasiana.com: https://www.kompasiana.com/adindatiput/5a53039a5e137366692d47f2/besar-potensi-ekowisata-indonesia-tidak-disokong-optimalisasi?page=all#section2

Rudiyanto, A., & Sugiarto, E. (2020). "NEW NORMAL" SEBAGAI MOMENTUM KEBANGKITAN EKOWISATA: Sebuah Kajian Awal tentang Daya Dukung Lingkungan Pascapandemi Covid-19. PARIWISATA BUDAYA: JURNAL ILMIAH AGAMA DAN BUDAYA, 5(2), 74-81.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun