Mohon tunggu...
ZulIhsanuddin
ZulIhsanuddin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Penyalahgunaan Uang dalam Kehidupan

8 Mei 2017   21:58 Diperbarui: 8 Mei 2017   22:22 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Makhluk Allah swt terutama manusia yang diciptakan di dunia ini bertujuan untuk memenuhi kewajibannya,  baik itu di kehidupan di dunia maupun di akherat.  Salah satu dari kewajibanya manusia itu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri di kehidupan dunia dengan cara bekerja.  Bekerja sendiri dalam islam haruslah dilakukan sesuai dengan syari’at islam yaitu dengan cara yang halal dan jujur dalam pekerjaannya.  Dalam masa sekarang ini mencari pekerjaan itu tidaklah mudah. 

Ada banyak orang yang berpikiran untuk mencari jalan pintas dan dalam mencari rizeki itu tidak peduli,  apakah itu halal atau haram,  yang mereka pentingkan itu hanya untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan gaji untuk hidup mereka sendiri.  Orang-orang itu pastilah berupaya untuk mencari celah dan alasan agar mendapatkan hak atau menolak kedzaliman sehingga menyuap pejabat atau pihak yang berwewenang.[1]

Suap itu sendiri juga disebut dengan risywah yang penertiannya adalah tindakan suap dalam bentuk uang,  fasilitas atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya untuk mendapatkan fasilitas atau kemudahan untuk melakukan transaksi maupun suatu pekerjaan.  Dan juga bisa diartikan dengan sesuatu tindakan yang dapat mempermudah kesulitan yang di hadapi contohnya dengan cara suap menyuap. 

Ada beberapa unsur unsur suap yaitu :Penerima suap,  itu orang yang menerima suap dalam bentuk apapun agar menerima semua permintaan dari si penyuap.Pemberi suap, itu orang yang ingin mendapatkan segala sesuatu dengan mudah atau ingin mempermudah orang tersebut untuk tujuannya dengan memberi hartanya kepada orang lain dalam bentuk apapun.Suapan, harta,barang ataupun jasa yang di berikan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya.

Dan ada pula menurut para ulama  membagi risywah atau suap menjadi 4 kategori,yaitu:

Suap supaya diangkat sebagai hakim atau pejabat, dan supaya bisa menjadi PNS.Permintaan suap dari seseorang hakim sebelum dia mengambil keputusan.Menyerahkan seumlah harta kepada seseorang dalam rangka bahaya (kedzaliman) orang tersebut atau mendapat manfaat (yaitu menerima yang menjadi haknya).Memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa membantu untuk mendapatkan haknya.[2]

Islam tidak saja mengharamkan perbuatan suap-menyuap melainkan juga mengancam buat kedua belah pihak yang terlibat akan berurusan dengan neraka diakhirat.“terkait pembuktian svenson yang menyatakan, makin ketatnya tingkat persaingan bisnis menyebabkan makin rendah presentase suap, lantaran banyak biaya yang digunakan untuk membiayai produksi,  justru semakin tinggi persaingan maka semakin tinggi suap.”[3] yang telah di sebutkan itu termasuk teori dalam membahas tentang suap yang terkait pembuktian dari svenson.

Pada suatu pekerjaan pasti akan mendapatkan upah dan dalam artian luas, upah itu suatu pembayaran yang diberikan sebagai imbalan untuk jasa kerja.  Para ulama memperbolehkan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik.[4]

Sulitnya dalam mencari suatu pekerjaan, banyak orang yang menempuh jalan mudah walaupun harus ditempuh dengan melakukan suap.  Dalam kehidupan nyata suap menyuap itu terjadi tanpa mempertimbangkan kompetensi dan profesionalitasnya dalam pekerjaan.  Menerima suap dalam hukum islam itu dilarang dan dilarang juga dalam hukum pidana, karena adanya kebathilan dalam mengerjakan sesuatu agar mendapat sesuatu pekerjaan ataupun mendapatkan keuntungan.  Dalam pratek suap sendiri itu yang terjadi sejak lama dan dibiarkan terjadi secara terus menerus yang dapat membuat suap menjadi tindakan yang seakan-akan sudah dibenarkan,  Bahkan masyarakat beranggapan suap itu hal yang di benarkan.

Seperti yang terjadi di masa ini yang untuk menjadi pegawai atau menjadi anggota TNI atau polri itu biasanya harus di ikuti dengan tindakan menyuap yang bernilai hingga puluhan juta rupiah,  itu pun sudah menjadi suatu rahasia umum yang beredar di kalangan masyarakat. Tindakan suap menyuap itu tidak hanya dilakukan rakyat kepada pejabat negara(pegawai negeri)  saja tetapi pihak penguasa atau calan penguasa juga tidak jarang melakukan tindakan suap dalam bentuk politik dan yang bersangkutan,  kepada tokoh tokoh masyarakat dan rakyat agar memilihnya. 

Kuatnya daya tarik uang dalam mempengaruhi perilaku politik public sebenarnya bukanlah fakta baru, dikarenakan uang akan menjadi sumber kekuatan untuk menghasilkan kekuasaan di daerah tertentu. Dalam hal tersebut dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk dapat memikirkan jalan pintas agar mendapatkan kekuasaan tersebut. Apalagi uang yang akan di dapatkan setelah menjabat di suatu kekuasaan tertentu cukup besar keuntungannya.

Islam memandang bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah SWT , maka kerja yang dikehendaki islam adalah kerja yang bermutu terarah pada pengabdian Allah SWT dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain.[5]

Bekerja itu memanglah harus dilakukan karena menyangkut kehidupannya di dunia. Maka bekerja itu penting untuk menhidupi diri, jika tidak bekerja maka kehidupan didunia pun tak akan berjalan dengan keinginannya dalam menghidupi diri ataupun keluarganya. Akan tetapi kehidupan di akhirat itu juga sangat penting untuk kehidupannya di akhir kekal kelak. Karena keduanya itu berhubungan dengan kewajiban manusia , untuk itu bekerjalah dengan yang baik agar kehidupan di dunia makmur dengan cara jujur dan halal. Dan jangan lupa untuk memenuhi kewaiban di akhirat agar selamat kelak.


[1] Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual, (Jakarta: AMZAH,2014), h.20.

[2] Abu%20imam%20yazid%20hadis%20tentang%20risywah%20(sogok).Htm, di akses 06 uni 2011.

[3] Hanung Soekendro, Mentahkan Tiga Teori Suap, (Suara Merdeka.com, September, 06), h.17

[4] Sohari, Hadis Akham II, (Cilegon: LP IBEK,2014), h.129.

[5] Abbudin Nata, Metedologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.93.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun