Semasa kecil, ruang jelajah bermain saya cukup jauh. Rumah saya di Kampung Melayu III dekat pesantren Attahiriyah Kampung Melayu. Saya bisa bermain sampai Jl. Matraman Raya (sekitar Kampung Melayu). Waktu itu usia saya belum sampai 10 tahun. Kami biasanya berkelompok dengan anak tetangga yang lebih besar.
Fenomena “Om telolet om” mengingatkan saya akan masa kecil itu. Kami tidak punya rasa takut karena seakan-akan semua orang yang kami lewati sudah mengenal kami. Mereka seakan-akan ikut menjaga kami. Saya rasa orang-orang di sekitar anak-anak yang minta telolet kepada pengemudi bis ini juga ikut menjaga mereka.
Hidup di kalangan ekonomi bawah dan di kalangan ekonomi atas memang saya rasakan perbedaan yang jauh. Mungkin karena karena pekerjaan kalangan ekonomi bawah lebih banyak non formal, mereka lebih banyak di luar ruangan. Sambil berinteraksi, tidak sengaja mereka mengamati dan ikut peduli dengan keamanan masing-masing.
Untuk kalangan menengah, pekerjaannya cenderung formal dan terikat jam kerja. Mereka baru keluar ruangan setelah hari gelap. Walaupun rumah masih berbaur dengan yang ekonomi bawah, biasanya kalangan ini hanya berkumpul di acara formal kampung.
Lain lagi dengan kalangan ekonomi atas. Golongan ini sudah buat eksklusifitas sendiri dengan ditandai pagar rumah atau perumahan yang menjulang tinggi. Orang-orang ini mungkin bekerja pada orang lain atau seorang pimpinan perusahaan. Mereka cenderung tidak tahu siapa tetangganya.
Tolong diingat ya ini hanya pengamatan saya lho tanpa penelitian ilmiah. :)
Mana yang lebih nyaman? Tentunya tergantung pribadi masing-masing.
Ketika pembuat aturan (biasanya pimpinan yang sudah menengah ke atas) menyikapi fenomena ini, mereka tidak merasakan “sensasi” dari kegiatan ini. Fenomena ini kelihatannya sudah kelihatan satu tahun lalu, mungkin lebih. Kalau hanya larangan atau himbauan, lalu apa pengganti hiburan gratis ini? Ada baiknya lokasi-lokasi “Om telolet om” itu difasilitasi seperti anjungan melihat pesawat terbang di bandara sehingga anak-anak lebih aman. Nah, kalau sudah ada itu, barulah buat aturan.
Kalau di daerahdekat stasiun Lempuyangan Yogyakarta, di bawah jembatan layang, ada lokasi melihat kereta api. Tadinya sepertinya di tanah PJKA tapi entah kenapa berubah lokasinya. Mungkin karena diberi tarif parkir, entah oleh pihak resmi atau oknum. Bagaimana keamanannya? Cukup diragukan karena tidak ada pagar antara kereta api dan penonton.
Begitu juga bandara Adisucipto menjadi ajang hiburan menonton gratis bagi anak-anak. Walaupun ada anjungannya (yang harus bayar) tapi masyarakat umum bisa melihat pesawat dari luar bandara.
Melihat ketertarikan anak-anak terhadap kendaraan, saya menyarankan agar pihak yang berkepentingan selain memikirkan kendaraan umum, terminal, stasiun dan bandara. Juga perlu memikirkan tempat hiburan dan pendidikan anak yang gratis karena anak lah yang akan membuat fasilitas kendaraan umum kita menjadi lebih baik.