Mohon tunggu...
Zul Hendri Nov
Zul Hendri Nov Mohon Tunggu... Freelancer - Belajar Menjadi Penulis

Belajar Menulis... Akun lama saya : https://www.kompasiana.com/zul_hendri_nov

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Elite Politik Bermain, Kenapa Hak Rakyat yang Dikebiri?

4 Desember 2019   10:32 Diperbarui: 4 Desember 2019   13:29 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Reformasi telah merubah haluan ketatanegaraan Indonesia. Sistem politik orde baru yang sebelumnya cendrung otoriter, beralih ke arah sistem politik yang demokratis. Dampak terbesar dari reformasi bagi bangsa Indonesia adalah, rakyat semakin berdaulat dan rakyat dapat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Tidak hanya itu, selain Presiden dan Wakil Presiden, rakyat juga dapat memilih secara langsung Kepala Daerah mereka berdasarkan azas Pemilu.

Pemilihan Presiden secara langsung merupakan bentuk kritalisasi dari kehendak politik bersama rakyat Indonesia ketika reformasi bergulir. Melalui amandemen UUD 1945, Pemilihan Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR (Mandataris MPR), kemudian dirubah. Masyarakat dapat menentukan secara langsung Presiden dan Wakil Presiden yang diinginkan melalui Pemilihan Umum (Pemilu).

Sedangkan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan penterjemahan Pasal 18 ayat (5) UUD 45 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor : 72 -- 73/PUU-II/ 2004 dan Nomor: 97/PUU-XII/2013. Bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dilaksanakan secara demokratis dimaknai sebagai Pemilihan langsung, sebagaimana halnya Pemilihan Umum.

Upaya Pengkebirian Hak Rakyat

Upaya pengkebirian rakyat ini mulai tampak dengan lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Melalui UU tersebut, Pemilihan Kepala Daerah kembali diserahkan kepada DPRD. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat itu tampil sebagai pahlawan penyelamat demokrasi. Presiden Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu Pilkada) yang isinya mengembalikan hak rakyat untuk memilih Kepala Daerah Secara Langsung.

Belakangan ini, Wacana Pemilihan Kepala Daerah kembali dipilih oleh DPRD kembali digaungkan. Bahkan pernyataan tersebut muncul dari Mentri dalam Negeri sendiri Bapak Tito Karnavian. Tidak hanya pemilihan Kepala Daerah saja yang diisukan untuk ipilih kembali oleh DPRD bahkan Pemilihan Presiden dan Wakil Presidenpun ingin dikembalikan kepada DPR.

Wacana tersebut muncul dengan dalil dampak negatif yang ditimbulkan oleh pemilihan langsung sangatlah besar. Salah satu dalil kuat yang muncul adalah Cost politik yang tinggi, serta keterbelahan masyarakat yang diakibatkan oleh politik identitasdalam sistem pemilihan langsung.

Pemilihan Langsung adalah Hak Rakyat

Pemilihan Secara langsung wakil-wakil rakyat baik pimpinan eksekutif maupun legislatif merupakan hak rakyat. Demokrasi mengamanatkan keterlibatan rakyat dalam mengejewantahkan partisipasi politik yaitu melalui Pemilu. dikutip dari siaran Pers Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi  (Perludem), pada 9 November 2019 lalu menyatakan:

"Usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD ini jelas logika yang melompat, tidak produktif terhadap wacana mengevaluasi pilkada, serta merupakan langkah mundur demokratisasi di Indonesia. Harusnya, jika ingin melakukan evaluasi pilkada, khususnya terkait dengam biaya politik yang tinggi, pembentuk undang-undang, utamanya elit politik, mesti menjawab dan menemukan penyebab biaya politik yang tinggi itu apa? Bukan secara tiba-tiba langsung mengusulkan pemilihan kembali ke DPRD. Apakah dengan mengembalikan pemilihan ke DPRD otomatis biaya politik akan menjadi rendah? Respon elit politik, juga kemendagri terhadap narasi evaluasi pilkada langsung harusnya lebih komprehensif, dan menyentuh pokok masalah. Jika fokusnya biaya politik yang tinggi, harus betul-betul diklasifikasikan secara benar, pada kompone apakah calon kepala daerah mengeluarkan biaya terbesar. Jangan-jangan, pengeluaran uang yang besar dari kepala daerah, justru terhadap kegiatan yang harusnya tidak boleh dilakukan di dalam pilkada. Salah satunya adalah uang yang dikeluarkan untuk mahar politik atau tiket pencalonan".

Selanjutnya, Pengusulan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui MPR juga merupakan kesalahan cara berfikir. Sebab, bila cost Politik yang dijadikan persoalan, kenapa hak politik rakyat yang dikebiri? Jika keterbelahan Masyarakat akibat politik identitas dalam Pemilu, kenapa Sistem Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden kita menggunakan treshold?

Dari awal, sistem pemilu kita didesain menggunakan treshold, inilah yang kemudian menyebabkan keterbelahan dari masyarakat, karena paksaan sistem yang membuat mau tak mau, Pencalonan hanya memunculkan 2 calon. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden banyak, masyarakat tentu tidak akan terbagi menjadi dua kubu.

Menurut Ketua Lima Indonesia, Ray Rangkuti, menilai adanya presidential treshold sebagai syarat pencalonan tidak menyelesaikan persoalan pemilu dan politik yang ada saat ini seperti oligarki, politik dinasti, kaderisasi parpol dan minimnya jumlah calon. "Presidential treshold memperkecil munculnya calon pemimpin baru," dikutip dari (HukumOnline, 1/2/17).

Perbaikan Regulasi Sistem Pemilu Perlu dilakukan

Menjawab pesoalan-persoalan dalam Pemilu melalui wacana pengembalian Pemilihan Presiden atau kepala daerah ke Lembaga Legislatif tidak tepat sasaran. Persoalan tingginya cost politik disebabkan oleh politik elit yang menggunakan cara-cara tertentu untuk memperoleh dukungan termasuk dengan mahar politik. Penyelesaian praktik mahar politik bisa diselesaikan dengan beberapa langkah. Pertama, Melakukan tranparansi dan mencatat semua aliran dana kampanye partai politik; kedua, dengan membuat aturan tegas berkenaan menjanjikan, menerima, memberikan dan meminta mahar politik harus diproses hukum.

Kemudian, melakukan menghapuskan treshold sebagai prasyarat pencalonan. Sebab, adanya treshold menjadi pembatas bagi calon-calon potensial untuk maju. Adanya treshold juga menjadi penyebab munculnya keterbelahan publik karena hanya memunculkan 2 pasangan calon. Selanjutnya, keterlibatan perangkat negara seperti ASN, TNI dan Polri perlu penegasan sanksi.

Pencabutan hak politik masyarakat untuk memilih secara langsung Presiden, Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah merupakan penghianatan proses reformasi yang telah bergulir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun